Quantcast
Channel: efenerr
Viewing all 64 articles
Browse latest View live

Kenapa Harus Motor Trail / Supermoto ?

$
0
0

original

Ini adalah gambar motor saya seusai diperkosa hujan kemarin lusa, memang lusa saya menuju Bandung bermotor. Sebenarnya enggan bermotor tapi demi mendengar Rancaekek macet total, saya urungkan bermobil dan akhirnya sore-sore saya panasi motor kesayangan, saya isi bensin dan begitu jam 5 tet saya langsung menghajar jalanan menuju Bandung.

Dan benar begitu Rancaekek memang sudah macet total, penyebabnya adalah penyempitan badan jalan karena pembetonan ruas jalan. Memang Rancaekek ini biang macet yang sudah akut menahun, beberapa minggu lalu banjir, sekarang renovasi jalan, kalo hari-hari biasa macet karena bubaran pabrik, komplit menu macetnya. Kemacetan ini membuat hampir semua kendaraan bermotor pun menyerah, bahkan motor yang biasanya seenaknya meliuk-liuk di sela-sela kendaraan lain pun menyerah dan menepi.

Lain dengan saya, trabas. Untungnya motor saya adalah supermoto lansiran Kawasaki, tinggi, setelah melihat situasi, saya kemudian melewati bahu jalan tanah, hajar; bertemu trotoar tinggi, enteng (untungnya trotoar di Rancaekek sedang kosong); ketemu genangan air sebetis orang dewasa, terjang. Sesekali bertemu dengan pemotor yang seenaknya melawan arus padahal kondisi jalan macet total (di Rancaekek ini hal yang lazim dan menyebalkan) saya raungkan knalpot dan agar mereka menepi dan memberi jalan untuk saya (karena memang seharusnya begitu, jalan macet malah melawan arah).

Saat pertama kali memilih membeli motor trail/supermoto ini saya memang bukan untuk gaya-gayaan, alasannya lebih ke fungsi motor yang bisa maksimal untuk dipakai. Tidak ada tendensi misalnya pakai motor trail kelihatan jantan, tidak. Semua murni pilihan logis, dan berikut beberapa alasan logis saya membeli motor trail/supermoto dan kemudian saya modifikasi sedikit untuk meningkatkan performanya :

1. Kondisi Jalan

Kenapa harus trail/supermoto? karena motor jenis ini adalah pilihan terlogis untuk kondisi jalan di Indonesia yang tidak lebih baik dari kondisi jalan di era penjajahan kolonial, buruk dan semakin buruk. Dengan motor trail/supermoto, tak perlu risau. Mau kondisi jalan jelek, mau kondisi jalan bagus, semua bisa diterjang dengan mudah. Coba bayangkan jika memakai motor bebek, matic, atau motor sport dengan kondisi jalan banjir, pasti mikir-mikir. Atau menemui kondisi jalan rusak, berbatu dan tanah, wah pasti mau melaju juga berpikir, mentok mesinlah, terbentur batu apalah, dengan trail semua bisa teratasi.

2. Performa Mesin

Untuk performa saya kira Kawasaki bisa jadi pilihan. Setiap mengeluarkan seri motor, Kawasaki pasti selalu menelurkan motor-motor dengan mesin yang outstanding. Trail Kawasaki karakternya galak dan cenderung liar, apalagi jika sudah dilakukan ubahan, mesin dijamin sangat bertenaga. Sebagai gambaran, karena saya melewati jalur Garut-Bandung untuk melalui tanjakan Nagrek ataupun lingkar Nagrek, dengan trail tidak ada masalah, mesin melaju kencang tanpa kehilangan tenaga. Tapi Kawasaki agak sedikit menahan performa mesin motor ini, saya maklum sih karena jika tidak bisa bahaya, mesin motor ini sesungguhnya monster.

3. Tangguh

Motor ini sudah beberapa kali jatuh, tabrakan, tapi tetap kokoh. Saya tidak mau mengagung-agunakan motor sendiri, tapi silakan coba sendiri. Untuk urusan mesin pun mesinnya tidak usah diragukan, dijamin tangguh, motor ini sudah pernah saya pake ke puncak gunung, mudik bolak-balik, dan berbagai perilaku yang menyiksa mesin, alhamdulillah masih tetap enak dipakai.

4. Stabil

Sebenarnya walaupun motor ini tinggi, tapi enteng dan enak dipakai meliuk-liuk selain itu sangat stabil. Kalo kata orang Jawa, motornya antep. Kestabilan ini bahkan saya buktikan sendiri, saat pernah hampir adu kambing dengan motor di depan, walau sudah menyerempet keras tapi motor tetap laju di jalurnya. Di area kemacetan pun tidak masalah, motor trail bisa meliuk-liuk dengan tenang, bahkan tetap bisa berjalan dengan sangat pelan tanpa perlu menurunkan kaki ke tanah.

5. Perawatan Mudah

Kalau kata montir Kawasaki, motor ini mudah perawatannya karena sudah didesain kuat sehingga memiliki jangka waktu servis yang lebih panjang dari motor – motor lain pada umumnya. Saya pun biasanya perawatan ringan, saat dibawa ke bengkel untuk servis rutin juga alhamdulillah tidak ada masalah, paling hanya ganti oli dan kampas rem yang memang cepat habis.

Nah, kira-kira itu tadi beberapa alasan saya memilih motor saya yang sekarang. Sudah hampir 3 tahun saya pakai dan sejauh ini masih enak sekali, masih kencan, masih empuk, masih bisa banting ke kanan ke kiri. Untuk kondisi jalan Indonesia yang masih amburadul, saya merekomendasikan motor ini karena memang sangat sesuai dan motor ini multi purpose.

Tabik.

Nb : Kawasaki Indonesia mengeluarkan beberapa varian trail 110 cc, 150 cc, 250 cc sampai SE. Sampai saat ini hanya pabrikan ini yang konsisten mengeluarkan varian motor multi purpose, dulu Suzuki pernah mengeluarkan seri TS yang menjadi legenda, dan sekarang giliran motor keluaran Kawasaki yang akan menjadi legenda. Motor saya Kawasaki D-Tracker 150 cc, ubahan yang saya lakukan adalah mengganti ban menjadi ring 17, mengganti knalpot racing dan setting mesin di bengkel resmi. Jika ingin lebih nikmat, belilah yang 250 cc, performanya luar biasa.


Filed under: bepergian

Bootcamp Batu Hijau 1 : Sebuah Perkenalan

$
0
0

DSC_0012

Saya adalah orang yang cukup skeptis, bahkan sinis jika mendengar kata tambang. Dalam pemahaman saya, kata tambang berarti adalah industri kapitalis yang hanya mengeruk Sumber Daya Alam demi kepentingan segelintir orang, lalu meninggalkannya saat lingkungan sudah benar-benar rusak dan hancur. Namun pandangan saya ini hanya didasarkan subjektifitas semata, dimana saya hanya menyerap info-info tersebut dari media massa dan internet. Konstruksi subjektif yang dibangun tanpa melihat kondisi riil di kawasan pertambangan.

Sampai akhirnya saya mendapatkan kesempatan untuk membandingkan apakah pandangan subjektif saya itu sesuai dengan kondisi riil di lapangan pertambangan.  Adalah email dari Jenni, Public Relations Newmont yang mengundang saya untuk melakukan kunjungan lapangan ke lokasi tambang Newmont Nusa Tenggara, Batu Hijau untuk melihat upaya – upaya CSR dan reklamasi lingkungan areal pertambangan bertajuk Batu Hijau Bootcamp. Saya melihat kesempatan ini adalah kesempatan emas, setidaknya ada 2 alasan : Alasan pertama adalah membuktikan pandangan saya itu benar atau tidak, alasan kedua adalah agar saya bisa memandang secara objektif mengenai kasus-kasus yang terjadi di areal pertambangan, karena tambang dan permasalahannya sampai saat ini masih menjadi kasus yang seksi untuk dibahas di masyarakat. Atas 2 alasan tadi maka saya mengiyakan tawaran Jenni dan berangkatlah saya ke Sumbawa.

Berangkat dari Jakarta tanggal 12 Mei pagi buta, saya menghabiskan waktu seharian di perjalanan. Penerbangan 2 jam dari Jakarta ke Lombok, kemudian dilanjutkan dengan jalur darat dari Bandara Internasional Praya menuju Pelabuhan Kayangan untuk menyeberang ke Sumbawa. Menanti sekitar 2 jam, akhirnya jam 1 siang waktu setempat saya melanjutkan perjalanan menuju Pelabuhan Benete untuk mencapai areal pertambangan Newmont Nusa Tenggara yang dikenal dengan Batu Hijau. Perjalanan antara Kayangan dan Benete ditempuh dalam waktu kurang lebih 2,5 jam perjalanan, sepanjang penyeberangan, kapal diterpa gelombang yang cukup keras yang membuat kapal bergoyang sesuka hati seperti penyanyi dangdut Pantura.

Dan tibalah saya di Batu Hijau, areal pertambangan Newmont Nusa Tenggara yang terletak di Pulau Sumbawa, tepatnya terletak di areal administrative Kabupaten Sumbawa Barat. Sore menjelang saat saya tiba di Batu Hijau, disambut oleh Arie dan Moled dari pihak media relations Newmont Nusa Tenggara.

Saya dan beberapa teman lain yang juga diundang Newmont kemudian diajak untuk mengenal lebih dekat tata cara pekerjaan di areal pertambangan dengan memperkenalkan tentang kebijakan keselamatan pekerjaan yang diterapkan perusahaan di areal pertambangan. Semua peserta Batu Hijau Bootcamp yang berasal dari berbagai background mulai dari jurnalis, travel blogger, diver, aktivis LSM lingkungan hidup, praktisi CSR sampai mahasiswa diterangkan mengenai tata cara peraturan keselamatan di kawasan tambang untuk menjamin keamanan dan keselamatan peserta di areal pertambangan. Tinggal dan bekerja di areal pertambangan tentunya memiliki resiko yang cukup besar, sehingga pihak Newmont meletakan keselamatan kerja sebagai bagian terpenting dalam bisnis ini.

Step berikutnya adalah masuk ke Townsite, sebuah kawasan yang diperuntukkan untuk tempat tinggal pegawai-pegawai Newmont. Townsite sendiri agak mirip dengan sebuah kota kecil dengan fasilitas super lengkap untuk menjamin kenyamanan para pekerja di areal pertambangan Batu Hijau. Walaupun disebut town/kota, namun disini semua tertata rapi dan serba teratur. Mulai dari rumah-rumah yang seragam dan dibangun mengikuti kontur tanah di sana, jalanan yang luas dan bebas macet, serta monitoring pengendara kendaraan bermotor dengan memasang sensor kecepatan pada beberapa titik. Dan seorang pegawai yang bekerja akan menempati sebuah mess di Townsite, dijamin tempat tinggal dan kebutuhan hidupnya selama bekerja.

Dalam 2 hal pertama tadi, keselamatan dan kenyamanan pegawai, Newmont menjadikannya prioritas, bahkan menurut pihak Newmont, prosedur keselamatan kerja di Indonesia ini menjadi acuan bagi tambang-tambang Newmont lainnya di luar negeri seperti di Australia, Ghana dan Peru. Kemudian soal kenyamanan SDM di areal pertambangan ini sebenarnya adalah upaya bagus dari Newmont, tentunya ini akan mendukung kinerja produksi perusahaan. Dalam Manajemen Sumber Daya Manusia, kenyamanan dan pemunuhan kebutuhan SDM dalam siklus bisnis memiliki peranan yang cukup penting dalam keberhasilan operasi perusahaan. Logikanya begini, semakin nyaman seorang pegawai, maka kinerjanya akan bagus dan pada ujung akhirnya kinerja yang bagus ini secara otomatis akan mengoptimalkan produksi perusahaan.

Berikutnya rombongan dibawa ke Klinik SOS  International di tengah-tengah Townsite. Di Klinik ini saya baru tahu bahwa screening kesehatan untuk pegawai Newmont sangatlah ketat dan detail. Sebelum masuk sebagai pegawai mereka harus melalui medical check up, kemudian terdapat check up berkala bagi pegawai. Untuk staff kantor dijadwalkan 3 tahun sekali, sementara untuk staff lapangan bisa 6 bulan sekali tergantung tingkat resikonya. Perhatian untuk kesehatan para pegawai Newmont tampak tidak main-main, bagi saya yang mendalami manajemen sumber daya manusia, mungkin ini adalah salah satu bentuk manajemen berbasis pegawai, dimana proteksi terhadap pegawai benar-benar maksimal dan memandang pegawai sebagai aset perusahaan.

Setelah melihat beberapa sisi humanis perusahaan, maka rombongan segera dibawa ke penginapan. Karena tajuknya adalah untuk merasakan suasana kehidupan pegawai Newmont, maka penginapannya pun disamakan di mess pegawai. Konstruksi mess pegawai dibuat tanpa merubah kontur tanah, jadi jika berada di tanah yang miring maka bentuk bangunan yang menyesuaikan. Bangunannya dibuat dari konstruksi aluminium, di atas tonggak-tonggak besi dan didesain tahan gempa. Fasilitasnya berupa kamar tidur, lemari, meja, penyejuk udara dan kamar mandi dengan air hangat. Sederhana namun lengkap dan nyaman. Di kamar inilah saya akan tinggal selama beberapa hari di lokasi pertambangan.

Begitu malam menjelang, seluruh peserta disambut dengan welcome dinner oleh manajer CSR Newmont, Pak Jarot. Di sesi dinner ini pula diperkenalkan secara umum kegiatan-kegiatan CSR yang dilakukan Newmont, kemudian Pak Jarot juga memberikan gambaran kisah beberapa tahun ke belakang, mengenai keberadaan Newmont dan juga beberapa konflik yang sempat terjadi antara Newmont dan masyarakat setempat serta pemecahan masalahnya. 2 jam acara welcome dinner ini sepertinya memberi saya gambaran awal tentang kegiatan-kegiatan CSR di Newmont ini. Tinggal nanti bagaimana saya melihat dan mencatat kegiatan konkretnya di lapangan.

Secara umum sambutan dari perusahaan cukup bagus, setiap informasi diberikan secara terbuka dan pihak perusahaan cukup apresiatif menanggapi pertanyaan peserta. Di hari pertama ini saya mendapat impresi bagus dari pihak Newmont, setidaknya mereka menunjukkan secara terbuka bagaimana tambang beroperasi, serta bentuk reklamasi, konservasi dan CSR yang dilakukan oleh perusahaan. Dari hari pertama, saya baru mendapat gambaran awal,kulit-kulitnya saja. Semoga untuk detail berikutnya mungkin bisa diamati dan dicatat secara kritis di hari berikutnya.

Tabik dari Sumbawa Barat.


Filed under: bepergian

Bootcamp Batu Hijau 2 : Pemandangan Bawah Air

$
0
0

???????????????????????????????

Logikanya jika sebuah perairan terkena pencemaran lingkungan, pastilah biota laut mati dan ekosistemnya rusak. Ikan-ikan enggan hidup dan terumbu karang rusak. Kita mungkin sudah tahu bahwa terumbu karang adalah salah satu organisme yang sangat sensitif dengan perubahan lingkungan dan cepat terdampak jika terjadi perubahan lingkungan.

Untuk membuktikan hal itu, maka dari pihak Newmont justru mengajak kami-kami peserta Bootcamp untuk nyebur ke laut, melihat bagaimana kondisi bawah laut di sekitar perairan kompleks Batu Hijau. Ajakan itu disambut gembira peserta Bootcamp yang beberapa diantaranya memang para penyelam. Beberapa yang memutuskan untuk ikut menyelam dan menikmati pemandangan bawah laut Sumbawa Barat adalah Mumun, Rohib, Audrey, Titiw, Regy, Harris, Bram dan saya sendiri. Diikuti 3 orang dari pihak Newmont, yaitu Pak Arie, Hidayat dan Gede yang mendampingi selama kegiatan penyelaman.

Bagi saya sendiri, penyelaman ini adalah penyelaman saya setelah sekian lama vakum menyelam. Tentunya ada rasa gugup, nervous dan sedikit takut karena sudah lama tidak menyelam. Akhirnya saya dipasangkan dengan Audrey sebagai buddy yang mendampingi saya selama penyelaman bersama tim Newmont.

Newmont memang memiliki divisi diving, karena dalam struktur perusahaan, diving tidak sekedar untuk olahraga atau kegiatan bersenang-senang namun diving adalah bagian dari pekerjaan rutin sebagai bagian dari maintenance dan pengawasan lingkungan tambang. Oleh sebab itu divisi diving Newmont tidak main-main, mereka memiliki alat-alat yang lengkap untuk mendukung kerja mereka.

Spot penyelaman yang dituju adalah Teluk Benete, tidak jauh dari pelabuhan milik perusahaan. Penyelaman akan dilakukan pada kedalaman antara 7 sampai dengan 10 meter untuk memeriksa kondisi reef ball dan terumbu karang di sekitar perairan Teluk Benete. Pihak Newmont memang memasang reef ball di beberapa titik perairan sebagai komitmen mereka untuk terus menjaga kelestarian di sekitar lingkungan tambang.

Persiapan di lakukan sekitar pukul 15.30, setiap penyelam menyiapkan sendiri perlengkapannya yang sudah disediakan Newmont, BCD, regulator, tabung, fin, masker semua dibawa masing-masing ke kapal. Setelah briefing singkat maka tim pun berangkat menuju perairan lepas, mencapai spot diving yang sudah ditentukan.

Kira-kira 10 menit dari pinggir pelabuhan Benete kapal memelankan laju dan kemudian berhenti, rupanya sudah sampai di titik penyelaman. Maka alat-alat kemudian dipakai dan satu per satu kemudian menceburkan diri ke dalam air sampai semua tim masuk ke dalam air. Saya sendiri sedikit mengalami kesulitan karena pemberat yang saya kenakan rupanya kurang, maklum ukuran badan saya super jumbo sehingga butuh banyak pemberat, kekurangan pemberat tadi membuat saya kesulitan menstabilkan diri di bawah air. Namun setelah mendapat tambahan pemberat, menjadi 8 pemberat akhirnya saya bisa stabil di bawah air dan menyelam dengan lancar.

Oleh Pak Gede saya dibawanya melihat reef ball yang sudah ditumbuhi karang-karang baru serta ikan-ikan kecil yang berlalu lalang. Sayangnya saya tidak bisa melihat terlalu jelas karena visibility dibawah memang jelek, cenderung keruh. Yang kedua adalah mata saya minus, sehinga penglihatan saya ala kadarnya di bawah air. Hanya menurut cerita Bram, sempat lewat seekor Stingray di dekat titik penyelaman saya tadi. Sayang karena kecerobohan saya dan kekurangan pada mata saya itu tadi, saya sempat menyenggol dan mematahkan reef ball yang sudah tumbuh. Kejadiannya sangat cepat, saya waktu itu hendak turun namun ternyata di depan saya ada reef ball, saya kaget dan merubah arah namun ternyata kaki saya masih menyangkut pada sebagian karang. Pada titik itu saya merasa sangat bersalah, dan bertekad akan lebih berhati-hati dan belajar menyelam lebih serius seperti nasihat Mumun pada saya.

Menjelang akhir penyelaman, saya ditunjukkan Pak Gede giant reef yang memang ukurannya paling besar diantara yang lainnya. Menurut Pak Gede, giant reef tadi adalah tolak ukur penelitian kondisi perairan di sekitar Benete. Kondisi sehat-tidaknya karang tadilah yang menjadi tolak ukur kondisi perairan Benete dan selalu dipantau oleh divisi Marine Environmental and Ecology dari Newmont Nusa Tenggara.

Perlu diketahui bahwa areal yang ditanami reef ball di Teluk Benete bukanlah areal konservasi atau reklamasi, namun benar-benar area untuk menciptakan habitat baru. Dimana daerah yang ditanam reef ball tadi adalah daerah kosong awalnya, hanya pasir semata. Diharapkan dengan adanya reef ball, akan tumbuh karang dan muncul populasi ikan, sehingga bisa menjadi area jembatan konsentrasi terumbu karang di sekitar Pelabuhan Benete. Dan setelah beberapa tahun menanam reef ball, hasilnya memang sudah terlihat, karang-karang baru sudah terbentuk dan muncul populasi ikan dengan jumlah cukup banyak di sekitar karang.

Penyelaman ini memberikan banyak gambaran mengenai lingkungan perairan di sekitar Pelabuhan Benete. Walaupun daerah teluknya dijadikan sebagai areal pelabuhan yang cukup sibuk dan didekatnya terdapat power plant/pembangkit listrik perusahaan, namun karang justru muncul dan tumbuh sehat di daerah teluk tersebut. Hal ini mungkin bisa jadi salah satu tanda bahwa perairan tersebut tidak tercemar dan bersih. Ini bisa menjadi salah satu tanda positif bahwa komitmen terhadap pelestarian lingkungan yang dilakukan oleh Newmont bukan sekedar lip service dan menuntaskan formalitas semata, namun benar-benar dilakukan dengan sungguh-sungguh dan konsisten.

Tabik dari Sumbawa Barat.

Semua foto oleh Regy Kurniawan.

???????????????????????????????

???????????????????????????????

???????????????????????????????


Filed under: bepergian

Bootcamp Batu Hijau 3 : Maluk, Dari Tiga Puluh Enam Menjadi Puluhan Ribu.

$
0
0

Namanya Arifin, tinggi, besar, tegap, bicaranya lantang khas orang Sumbawa Barat kebanyakan. Raut mukanya kukuh, keras khas orang-orang tambang kebanyakan. Sepulang dari tambang, Arifin menyambut kami peserta bootcamp di lantai dua rumahnya. Di usianya yang setengah baya dan setahun lagi pensiun dari Newmont, Arifin bercerita banyak hal tentang hidupnya, tentang Newmont dan tentang apa yang terjadi di sekitarnya pada kami dengan sesekali disisipi gelak tawa terbahak-bahak.

Arifin kecil lahir di Maluk, asli Maluk. Puluhan tahun yang lalu, Maluk hanyalah kampung kecil yang dihuni 36 Kepala Keluarga. Suasananya tenang, damai, pertanian adalah pekerjaan dan cara mereka menyambung hidup. Sampai tahun 1970-an, Maluk masih daerah yang mungkin bisa dibilang terisolir atau susah dijangkau. Untuk sampai ke kota terdekat, Taliwang hanya bisa ditempuh dengan kuda, atau kata Arifin jika tidak naik kuda, penduduk Maluk akan berjalan kaki berpuluh-puluh kilometer menuju Taliwang.

Maluk sekarang beda dengan Maluk di era Arifin kecil, Maluk sekarang berkembang menjadi sebuah kota kecil yang ramai dan hidup sampai malam larut. Arifin menuturkan, pembukaan tambang Newmont-lah yang membuat Maluk menjadi ramai. Berbondong-bondong arus manusia datang ke Maluk, puluhan, ratusan, ribuan, puluhan ribu. Dari 36 Kepala Keluarga sekarang penduduk Maluk sudah mencapai angka lebih dari sepuluh ribu, dari sebuah kampung menjadi kota kecil.

Maluk memang area residen terdekat dengan tambang dan merupakan area ter-ramai diantara area sekitar tambang yang lain. Mulai berkembang sejak era konstruksi, dimana pada masa itu Newmont secara masif mempekerjakan banyak pekerja, menembus angka 17.000 pekerja dan arus manusia yang menyerbu Newmont pun kemudian merembes ke Maluk. Maka jadilah Maluk tiba-tiba ramai dan lambat laun seiring waktu bertransformasi menjadi Maluk seperti sekarang.

Di mata Arifin, perubahan ini memberikan banyak dimensi yang berbeda. Arifin bersyukur, Maluk tidak lagi tertinggal, bersyukur karena ekonomi Maluk berkembang, banyak usaha-usaha baru, banyak lapangan pekerjaan. Di bidang kesehatan, dulu Arifin bercerita bahwa Malaria adalah kawasan endemik Malaria tertinggi di area Maluk, sekarang itu hanya masa lalu, masyarakat Maluk sudah tidak was-was lagi dengan Malaria. Infrastruktur dibangun, pendidikan diperhatikan dan Maluk berkembang menjadi sebuah kawasan yang modern.

Saya sepakat dengan Arifin, Maluk menjadi berkembang karena pembukaan tambang. Memang kemudian hal itu tidak bisa dipungkiri. Arus manusia yang banyak otomatis menggerakkan perekonomian dan membuat sebuah kawasan akan berkembang. Tapi semua perkembangan itu pasti tidak melulu soal kemajuan, pasti ada sisi kelam dari sebuah perkembangan daerah yang cepat.

Arifin bercerita, dahulu masyarakat hidup tentram dan aman. Misalkan ada hasil panenan yang ditinggal di sawah, tidak perlu khawatir hilang, cukup digeletakkan begitu saja. Atau jika ada yang mengambil, besok harinya pasti akan diganti dengan barang yang sama. Tapi sekarang berubah, seiring dengan perkembangan Maluk, maka kriminalitas pun ikut berkembang. Sekarang, tutur Arifin, jangan pernah meletakkan sepatu sembarangan, dalam sekejap mata sepatu bisa langsung raib.

Atau kemudian yang merisaukan adalah banyaknya kafe dan bar di tepi pantai. Tempat hiburan yang hingar – bingar sepanjang malam. Ditengarai menjadi area abu-abu untuk prostitusi. Memang itu semua adalah konsekuensi dari berkembangnya sebuah kawasan. Ada sisi terang dan pasti ada sudut gelap, 2 sisi mata uang yang akan menyertai perkembangan kota.

Untungnya kearifan lokal di Maluk masih kuat. Hukum adat masih dikedepankan jika terjadi masalah, perangkat sosial adat juga masih berfungsi. Arifin sendiri di Maluk adalah salah seorang tokoh yang dituakan di Maluk. Para pendatang yang tinggal di Maluk, mau tak mau harus mengikuti aturan adat di Maluk, ya dimana bumi dipijak, disitu langit dijunjung.

Arifin adalah salah seorang yang mengalami sendiri perkembangan Maluk dari sebuah daerah yang bukan apa-apa menjadi sebuah daerah yang semarak. Arifin juga salah satu dari beberapa orang Maluk yang turut membangun Newmont dari sejak Newmont ada dan beroperasi di Maluk. Saya kira, apa yang Arifin rasakan dan tuturkan adalah hasil kisah hidupnya selama bertahun-tahun, sebagai orang Maluk.

Hanya saja ada sedikit ganjalan dari saya, Maluk adalah satu dari sekian banyak contoh kawasan yang berkembang dari kawasan Tambang. Sekarang ini Maluk sedang berbulan madu dengan kawasan Tambang, menikmati lesatan ekonomi dan modernisasi yang maju pesat, sedang dalam masa keemasan. Tapi seperti yang sudah-sudah, Tambang pasti akan tutup suatu hari nanti. Dan ada banyak contoh kasus sebuah kawasan yang tadinya ramai, tiba-tiba langsung sepi karena penutupan Tambang.

Saya kira saya tak mampu membayangkan bagaimana Maluk setelah tambang ditutup. Apabila masyarakat hanya menikmati manis-manisnya masa sekarang dan tidak bersiap untuk antisipasi saat tambang ditutup, apa jadinya Maluk berpuluh tahun ke depan tanpa adanya tambang? Akankah kembali menjadi sebuah kawasan yang sepi? Semoga tidak.

Tabik dari Sumbawa Barat.


Filed under: Uncategorized

Bootcamp Batu Hijau 4 : Operasi Laut

$
0
0

DSC_0005

Matahari belum genap saat saya, Harris, Alfons, Yudi dan Mumun harus meninggalkan townsite menuju Maluk untuk sarapan. Jam 5 pagi Pak Arie sudah stand by di depan mess menjemput kami. Kali ini kami berlima adalah rombongan bootcamp yang akan mengikuti jadwal operasi divisi Marine Environment mengambil sample tailing di perairan Sumbawa Barat.

Persoalan tailing / sisa material pertambangan selama ini senantiasa menjadi perdebatan panjang yang seolah tiada ujung, Newmont sendiri memilih mengikuti apa yang sudah disarankan di AMDAL, yaitu meletakkan tailing di laut lepas. Apakah sampai disini saja? tidak, kondisi perairan sekitar tailing dipantau secara rutin dengan ketat.

Keseriusan Newmont untuk memantau perairan ini diwujudkan dalam bentuk Tenggara Express atau disingkat dengan Terex. Terex adalah kapal riset yang didesain untuk Newmont dan disesuaikan dengan kondisi perairan Sumbawa Barat yang berarus kuat dan berangin kencang.  Kapal ini memiliki peralatan sangat lengkap, canggih dan mutakhir, disesuaikan untuk kinerja divisi environment.

Persiapan dilakukan dengan cepat, alat-alat dimasukkan dan seluruh peserta pengarungan laut dibriefing di muster station oleh kapten kapal. Arus cukup tenang dan matahari bersinar dengan riang gembira, tampaknya perjalanan kali ini akan berjalan lancar. Perkiraan perjalanan akan ditempuh sekitar 2 – 2,5 jam perjalanan tergantung kondisi perairan. Kapal kemudian bertolak dari Pelabuhan Benete menuju lokasi pengambilan sample air.

Ada 29 titik pengambilan sampling yang secara rutin diambil sample airnya secara berkala. Biasanya bulanan atau triwulanan, sedangkan dalam jangka 5 tahun sekali Newmont bekerja sama dengan LIPI untuk mengambil sample tailing di perairan dalam > 1000 meter untuk kemudian dianalisa oleh LIPI kandungan mineral di perairannya. Pun dengan hasil pengambilan sample ini kemudian dikirim ke laboratorium independen di Bogor untuk menjaga objektivitas hasil sampling.

Kenapa Newmont perlu repot-repot sampai membangun kapal untuk penelitian. Tak lain karena memang ini adalah kewajiban yang harus dilakukan Newmont dan berikutnya adalah komitmen Newmont untuk terus mengelola tambang dengan terus menjaga kelestarian lingkungan sekitar tambang. Upaya-upaya konsisten ini membuat Newmont diganjar beberapa kali penghargaan tambang yang ramah lingkungan seperti Proper Hijau yang diberikan oleh Kementrian Lingkungan Hidup.

Perjalanan kali ini lain dari yang lain, tampaknya saya harus curiga dibalik perkataan perairan  pagi ini tenang yang dilontarkan anak buah kapal. Tenangnya mereka berarti guncangan tanpa henti yang membuat saya hampir mengeluarkan isi perut saya, sementara rekan seperjalanan yang lain memilih untuk merebahkan badan dan tidur sepanjang perjalanan.

Maka saya memilih pergi ke buritan, matahari menyengat dengan ganas dan kapal sudah masuk ke perairan lepas. Di belakang, beberapa ABK dan tim enviro Newmont tertawa terbahak-bahak dan membunuh waktu dengan memancing ikan. Sekali waktu tampaknya joran makin mengencang dan sepertinya ada ikan yang terkena kait, begitu ditarik sepenuh hati dan ditangkap, ee..rupanya cuma sampah yang berserakan di laut.

Saya memilih bercakap dengan Sally, seorang staff Marine Environment. Menurut Sally, kinerja Marine Environment tidak seb erat di bagian enviro darat, hanya saja wilayah kerjanya penuh tantangan. Apalagi kalau bukan lautan ganas yang siap menerkam Terex. Sally pernah mengalami bahwa, Terex pernah balik haluan karena gelombang yang tinggi, padahal perjalanan sudah masuk setengah jalan. Bagi Sally perjalanan kali ini cukup tenang, karena gelombangnya masih ramah. Itu di mata Sally, di mata saya gelombang ini sudah cukup membuat saya pusing dan berjalan sempoyongan.

Harris, Mumun, Alfons dan Yudi memilih untuk memejamkan mata sepanjang perjalanan. Sementara saya tak bisa, akhirnya saya berpindah tempat di haluan, menikmati panorama Sumbawa Barat yang amboi indahnya. Tebing-tebing tinggi di sisi Samudera Hindia ini kukuh, seolah tak mau kalah dengan gerusan air laut, saling menantang satu sama lain. Di arah sebaliknya, lamat-lamat tampak Rinjani di pulau Lombok mengintip di balik awan. Amboi.

Sample diambil di 2 titik, titik 28 dan titik 15. Lokasinya tidak jauh dari ujung pipa tailing yang berada di kedalaman 125 meter di bawah permukaan laut. Begitu mendekati titik pengambilan sample, tiba-tiba semua staff Enviro da ABK menjadi sibuk. Staff enviro menuju buritan dan mempersiapkan alat pengambilan sample yang berada di buritan. Kapal kemudian semakin pelan dan begitu tiba pada titik 28 yang sudah dikunci pada koordinat GPS kapal, kapal kemudian berhenti dan pengambilan sample dimulai.

Titik kedalaman pengambilan sample kali ini ada beberapa titik, hal ini untuk mengetahui variasi sample di kedalaman yang berbeda. Saya berada di belakang Sally yang memegang kontrol operasi alat pengambilan sample. Menurut Sally ada 2 titik kedalaman pengambilan sample, yaitu pada kedalaman 210 meter dan 350 meter di bawah permukaan laut. Setelah alat siap, kemudian diturunkan dengan menggunakan sling baja. Dan begitu diturunkan kemudian Sally sibuk berkutat di depan layar monitor, memantau pergerakan alat di bawah air. Pengambilan sample ini tidak membutuhkan waktu terlalu lama, kecepatan sling turun ke bawah air adalah 1 meter / detik. Sehingga untuk kedalaman 210 meter, dibutuhkan kira-kira 5 menit turun naik.

Indikator indikator pada sample akan menunjukkan kualitas air, yang dijadikan takaran tim enviro untuk melihat kualitas lingkungan bawah air apakah baik atau buruk. Ada beberapa indikator yang bisa diukur, seperti kandungan mineral yang larut pada air, keasaman dan beberapa indikator lain yang saya lupa namanya. Setelah proses ini selesai, air sample tadi dimasukkan pada botol sample higienis dan didinginkan untuk dibawa ke laboraturium Marine Environment di Benete.

Proses pengambilan sample usai, dan Terex kemudian balik haluan kembali menuju Benete. Saya yang tak mau kembali diombang-ambingkan gelombang, kemudian memilih naik ke kabin dan dipersilakan duduk di samping kapten kapal. Di atas kabin saya baru mengetahui bahwa Terex merupakan kapal yang canggih, segala indikator adalah indikator digital, saya ditunjukkan koordinat GPS yang sudah disimpan untuk menuju titik – titik pengambilan sample.

Sesampai di Benete, kerja belum usai. Sample-sample tadi dibawa ke laboratorium untuk proses selanjutnya. Dalam laboratorium itu sample-sample tadi dimasukkan ke dalam botol-botol yang akan dimasukkan lemari pendingin. Sample-sample itu berikutnya akan dikirim ke laboratorium independen di Bogor untuk melihat hasil samplenya. Kenapa harus laboratorium independen, karena untuk menjaga objektivitas hasil sample dan selain dipantau melalui laboraturium independen tadi, hasil sample  juga dikirim dan dipantau oleh pemerintah.

Dari hasil mengikuti operasi laut ini saya melihat betapa seriusnya pihak Newmont dalam mengelola isu lingkungan. Walaupun banyak selentingan dan kabar yang tidak jelas, tapi Newmont tetap maju terus dengan langkah-langkah untuk mengelola lingkungannya. Kalau menurut saya, daripada berdebat panjang lebar dan hanya memelototi data dari dunia maya, akan lebih baik jika diimbangi dengan mengikuti langkah-langkah nyata yang dilakukan perusahaan tambang. Hal ini akan memberikan sudut pandang baru yang lebih objektif tentang operasi sebuah perusahaan tambang.

Tabik dari Sumbawa Barat.

DSC_0016

DSC_0054


Filed under: bepergian

Bootcamp Batu Hijau 5 : Mumun Si Navigator

$
0
0
DSC_0194

Mumun si Navigator dan Rohib si Penumpang.

Jadwal hari ke tujuh bootcamp adalah road trip keliling Sumbawa Barat, senjata untuk Road Trip adalah 4 mobil 4 Wheel Drive. Masing-masing adalah 3 Mitsubishi Strada Triton dan sebuah Mazda BT-50. Road Trip dimulai dari Maluk dengan rute Maluk – Taliwang – Kertasari – Mantar – Taliwang – Maluk, diperkirakan rute ini bisa dilibas sehari penuh. Tim dibagi 4, dan masing-masing mobil terdiri dari 5 orang. Tim saya sendiri terdiri dari Saya, Mumun, Rohib, Ibnu dan Mufti, berlima kami satu atap dalam mobil double cab lansiran Mitsubishi, si handal Strada Triton.

Rute Maluk – Taliwang – Kertasari tidak perlu dibahas, jalanan mulus, hotmix, bahkan seharusnya para kepala pemerintah daerah – daerah Pantura Jawa Tengah patut malu pada NTB yang memiliki jalan propinsi super mulus. Walau berkelak-kelok, perjalanan dilalui dengan lancar, mesin tenaga besar yang saya kemudikan enteng saja melibas jalur yang memiliki bonus berupa pemandangan indah lepas pantai.

Nah, yang lebih menarik adalah perjalanan antara Kertasari -Mantar, wih, jalur bebatuan ini memang mensyaratkan mobil 4 WD. Jalur baru yang ada sejak 2008 ini membutuhkan skill tinggi dan ketenangan untuk melewatinya. Untunglah saya berpartner dengan Mumun, yang berpengalaman dengan mobil 4 WD. Maka Mumun memposisikan diri sebagai navigator, sementara saya fokus di belakang kemudi, sementara 3 penumpang lain duduk manis di kursi belakang.

Tanpa adanya bantuan dari Mumun, mungkin saya bisa sukses membuat Rohin, Ibnu dan Mufti muntah-muntah terguncang-guncang. Lha wong mobil yang saya kemudikan saja blok mesin bawahnya sudah membentur batu besar saat mulai menanjak naik. Apalagi tanjakan-tanjakan berikutnya yang cukup membuat kening berkerut untuk melahapnya, ada tanjakan dengan kemiringan > 45 derajat, ada tikungan patah dan langsung menanjak, ada sisa longsoran yang dibawahnya langsung jurang. Benar-benar membuat saya ciut di belakang kemudi.

Untungnya Mumun dengan sigap mengarahkan kemana saya harus melajukan mobil, bagaimana saya harus ke kanan, ke kiri, menghindari lubang, melewati jalur batu. Sementara Mumun sibuk melihat jalur dan saya pusing di belakang kemudi, si Mufti malah berteriak kegirangan saat mobil menghajar lubang. Bagi Mufti semakin kencang mobil menghajar lubang dan bergoyang-goyang maka makin asyik sebuah perjalanan.

Jalur terjal berbatu tadi kira-kira sejauh 6,3 kilometer dan berakhir di desa Mantar, sebuah desa di puncak bukit yang dihuni 1400 kepala keluarga. Di atas Mantar rombongan sempat berkunjung ke rumah-rumah warga kemudian sebagian sightseeing di sekeliling desa yang pernah menjadi lokasi shooting film Serdadu Kumbang. Puas berkeliling akhirnya rombongan road trip kembali turun ke Taliwang, sesaat setelah matahari tenggelam di Mantar.

Perjalanan turun bagi saya lebih mengerikan, gelap, berbatu, kondisi ini memaksa saya harus lebih awas. Mumun pun bekerja ekstra, bayangan lubang di malam hari bisa jadi jebakan, yang dikira dangkal ternyata dalam. Pada beberapa titik saya sempat meleset memperkirakan jalur dan membuat mobil miring ke sebelah, mengerikan. Mumun pun lalu sibuk mencari jalur untuk menstabilkan kembali mobil yang sudah miring tak karuan.

Keringat dingin sudah merambat pelan di tengkuk saya, ini mungkin perjalanan paling mengerikan yang pernah saya alami saat ini. Jalanan off road Garut yang pernah saya lewati saat saya berdinas di Garut bagaikan upil di jalanan Mantar, tidak ada apa-apanya level kengeriannya. Maka lalu saya berpikir, bagaimana masyarakat melewati jalur ini setiap hari, pastilah mereka orang-orang dengan level sabar yang luar biasa tinggi.

Dari hasil obrolan, rupanya Mumun sudah tak asing dengan jalanan terjal berbatu karena pekerjaannya di Wetar menuntutnya untuk menembus jalan-jalan terjal berbatu dengan mobil 4 WD. Pantas saja Mumun tampak santai saja di mobil yang bergoyang-goyang tak tentu arah. Mumun sangat fasih mengarahkan jalan dan meminta saya oper gigi, penunjukan jalannya pun cukup presisi. Boleh dibilang dalam road trip ini saya, Mufti, Rohib dan Ibnu menggantungkan nasib kepada Mumun si Navigator. Untungnya saya satu tim dengan Mumun, entah apa jadinya tanpa Mumun sebagai Navigator, mungkin pulang-pulang kami berlima sudah jadi kaleng rombeng.

Tabik dari Sumbawa Barat.

IMG_4569

Foto oleh Rohib : Jalur pembuka menuju Mantar.


Filed under: bepergian

Bootcamp Batu Hijau 6 : Sayonara Sumbawa

$
0
0
DSC_0026

Berdiri ki -ka : Zacky, Newmont, Rohib, Regy, Audrey, Harris, Mumun, Ibnu, Molet, Arie, Mufti, Yudi, Muty, Bram
Jongkok : Alfons, Saya, Titiw, Eko dan Cumi

Saya menulis ini diantara malam perpisahan Bootcamp yang sedang diselenggarakan di Lombok Garden Hotel. Acara ini sebenarnya adalah presentasi dan diskusi tentang pelaksanaan Bootcamp yang sudah berlangsung sejak seminggu yang lalu. Alih-alih menyimak dengan seksama, hati saya justru disergap rasa sendu. Namanya juga perpisahan, siapa yang tak hendak sendu dengan rasa perpisahan? tapi itulah namanya hidup, ada pertemuan pastilah ada perpisahan, itu adalah sebuah keniscayaan yang akan selalu ada dalam kehidupan.

Jujur, saya merasa sangat beruntung bisa mendapatkan kesempatan untuk mengikuti Bootcamp yang dilaksanakan di PT Newmont Nusa Tenggara. Apa pasal? ada banyak sekali pengetahuan baru yang saya dapatkan, pembelajaran dan juga pandangan baru mengenai aktivitas pertambangan. Skeptisisme dan sinisme saya terhadap tambang seperti yang sudah pernah saya posting di postingan pertama mengenai bootcamp kemudian berganti dengan objektifitas baru mengenai kegiatan perusahaan pertambangan. Bahwa skeptis itu sah-sah saja, namun jika hanya melihat satu sisi saja, maka pandangan seseorang tidak akan bisa jernih. Dan itulah yang saya rasakan, mengerti 2 sisi mata uang yang benar-benar berbeda, memaknai secara seimbang untuk mendapatkan pengetahuan baru.

Lelah sepanjang  7 hari perjalanan mulai dari menyelam, berlayar di laut, off road, trekking, terbayar dengan pengalaman tak terlupakan. Bertemu dengan teman-teman bootcamp lainnya, berkenalan dengan para pekerja tambang, mengenal kehidupan sekitar tambang, memahami kultur sosial masyarakat dan mengikuti upaya reklamasi dan konservasi lingkungan pada akhirnya adalah sebuah  pelajaran berharga yang saya dapat dari kunjungan ke Batu Hijau.

Secara pribadi saya berterima kasih untuk Jenni Renita, Ibrahim “Bram” dan Fradhea dari pihak Public Relations Newmont Jakarta yang memberikan saya kesempatan untuk mengikuti Bootcamp. Mas Arie dan Pak Molet dari Media Relations Newmont Nusa Tenggara yang mendampingi kami selama di Sumbawa Barat, mengikuti peserta yang super bandel, mulai dari pantai sampai gunung, mulai dari makan dendeng sapi sampai Lamongan. Pak Gede dan Hidayat untuk kesempatan diving di Benete. Kemudian untuk Sally, Alam dan sosok-sosok hebat Marine Conservation and Ecology untuk kesempatan pengarungan laut penuh gelombang selama kurang lebih 4 jam. Serta untuk semua pewagai-pegawai PT Newmont Nusa Tenggara yang telah memberikan wawasan baru untuk saya. Seluruh masyarakat Maluk dan Sekongkang yang membuka rumahnya untuk menginap rombongan bootcamp, terima kasih tak terkira untuk keramahan dan senyum hangat serta cerita-cerita luar biasa.

Terakhir, untuk semua rekan-rekan bootcamp. Terima kasih untuk canda, tawa selama 7 hari bersama di Sumbawa.

Sayonara Sumbawa, suatu saat kita jumpa pula.

Tabik dari Mataram.


Filed under: bepergian

Saat Perjalanan Terus Berlanjut

$
0
0

DSC_0015

Kemarin saya merasa sangat lelah, seharian kemarin saya melakukan perjalanan dari Lombok – Jakarta – Banjarmasin – Batulicin non stop. Start dari Lombok jam 4 pagi dan sampai di Batulicin jam 4 sore. Saya berencana sekitar 5 hari di Batulicin, setelah sebelumnya 9 hari di Sumbawa/ Jika di Sumbawa saya puas bercumbu dengan tambang mineral, pantai dan makanan pedas menggugah selera, maka di Batulicin saya akan membelai tambang besi dan batubara, serta kebun-kebun sawit. Dua dimensi berbeda yang saya alami dalam waktu yang cukup singkat.

Pagi ini saya terbangun cukup pagi, membuka jendela hotel dan menikmati kawasan sekeliling hotel yang masih merupakan areal perkampungan. Saya beruntung bisa ke Batulicin, kota kecil dan tenang. Dengan begitu masih bisa merasakan kultur sederhana dari kota ini. Kota ini konon hidup dari tambang, Kabupaten Tanah Bumbu memang salah satu area dengan kandungan Sumber Daya Alam yang cukup tinggi dan dari tambanglah ekonomi masyarakat menggeliat. Contoh gampangnya ada di Batulicin, sehari-hari mobil 4 WD yang biasa digunakan di tambang berseliweran tanpa henti.

Apa yang akan saya lakukan disini akan saya ceritakan kemudian. Tapi yang jelas, jadwal hari ini adalah saya ke Pulau Sebuku seharian, menikmati pulau yang katanya penuh areal pertambangan.

Selamat pagi dan Tabik dari Batulicin.


Filed under: bepergian

Bahwa Perjuangan Itu Nyata Di Batulicin

$
0
0
DSC_0096

Tim Speed Boat menuju Sebuku

Dinamika perjuangan rekan-rekan fiskus di daerah tentunya sangat beragam, tingkat kesulitan yang dialami juga berbeda-beda, kontur medan dan daerah penempatan yang terkadang mungkin terdengar antah – berantah bagi sebagian orang adalah tantangan yang setiap hari nyata dihadapi serta sudah menjadi menu wajib rekan-rekan di daerah. Untuk itulah, kali ini DJP ingin mengangkat kisah-kisah tentang perjuangan rekan-rekan fiskus di daerah, menceritakan kembali perjuangan di daerah yang entah orang pernah mendengarnya atau belum.

Proyek ini dibagi beberapa tim yang melaksanakan proyek ini secara berbarengan bersama rekan-rekan dari media. Ada 3 tim yang bergerak bersama, dalam kurun waktu yang sama, yaitu di Natuna, Putussibau dan Batulicin. Saya sendiri mendapat bagian untuk membantu proyek ini di Batulicin, Kalimantan Selatan selama beberapa hari ke depan. Untuk mencoba merasakan perjuangan dan merekam kisah mereka selama berjuang demi negara.

Kemarin lusa (21/5) tim yang terdiri dari P2 Humas Kantor Pusat, rekan-rekan AR dari KPP Pratama Batulicin, pendamping dari Kanwil Kalselteng dan rekan-rekan media sudah bersiap. Dijadwalkan perjalanan dimulai dari pukul 7 pagi dan dilepas oleh Kepala Kantor KPP Pratama Batulicin. Tujuan kali ini adalah Pulau Sebuku, salah satu pulau terluar di wilayah Kalimantan Selatan yang menghadap langsung dengan Selat Makassar. Waktu tempuh diestimasikan 3-4 jam, tergantung tinggi gelombang di laut nanti.

Bahwa perjuangan itu nyata di Batulicin, jangan bandingkan dengan di Jakarta. Tantangannya berbeda, jika mungkin di Jakarta mengeluh karena macet yang menyebabkan telat kantor, itu belum apa-apa. Di Batulicin, tantangan bisa berupa tinggi gelombang, kapal terbalik, kapal mati di tengah laut, dan kondisi alam yang benar-benar tidak bisa diprediksikan. Untuk menuju Sebuku dari Batulicin saja harus melalui jalan berliku, dari Batulicin menyeberang menuju Pulau Laut, lama perjalanan dengan speed boat sekitar 1 jam. Kemudian di Pulau Laut harus melanjutkan perjalanan dari Kotabaru menuju pelabuhan rakyat untuk menuju Sebuku, perjalanan darat kurang lebih 40 menit, setelah itu kembali dilanjutkan dengan perjalanan menyeberang dari Pulau Laut menuju Sebuku dengan speed boat lagi kurang lebih 1, 5 jam perjalanan.

Jangan bayangkan speed boat adalah speed boat yang besar dan cepat. Speed boat untuk mengarungi lautan dari Batulicin ke Sebuku adalah speed boat kecil berbodi fiber, bermesin tunggal dan maksimal hanya bisa membawa 5 penumpang. Kursi di speed boat adalah kursi kayu dengan busa yang seolah hanya ditempelkan sekedarnya saja. Body speed boat yang jika dilihat sekilas pasti akan mendatangkan keraguan apakah speed boat ini tahan diterjang gelombang, dari cerita-cerita sebelum perjalanan saja sudah cukup menyeramkan, mulai dari speed boat terbalik, dihantam gelombang 2 meter, mati mesin dan hal-hal yang membuat jeri untuk melangkahkan kaki menuju speed boat.

Bahkan untuk naik speed boat saja harus bergelut, di Pelabuhan Batulicin tawar menawar dan saling tarik ulur untuk menentukan harga speed boat yang cocok. Begitu harga cocok dan deal, maka tim segera masuk ke speed boat untuk segera berangkat menuju Pulau Laut. Juru mudi segera menyalakan mesin, mesin meraung-raung, bahkan mungkin lebih tepatnya melengking tinggi. Dan speed boat kecil ini segera menyongsong lautan lepas di depan sana. Saya bahkan keheranan, dengan speed boat kecil, perjalanan cukup lama, saya bahkan tidak diberi vest. Ah, ini saatnya lillahi ta’ala, entah apa yang terjadi semoga tidak terjadi hal-hal buruk.

Dan benar, begitu di tengah perjalanan apa yang saya lakukan hanyalah memegang besi pegangan dengan erat, bahkan terkadang mendekapnya. Speed boat ini terbang melayang beberapa meter di atas air, dan saat turun maka benturan keras menerpa body speed boat dan menjalar pada punggung, rasa sakit dan kagetnya aduhai. Apalagi saat menerjang gelombang, body speed boat akan oleng ke kanan kiri, sementara juru mudi dengan tenangnya terus melajukan speed boat sementara 2 penumpang di belakang sudah pucat pasi ketakutan. Pun sepertinya nasib sial sedang berkawan akrab dengan saya, mesin speed boat yang saya tumpangi rupanya bermasalah. Beberapa kali juru mudi menghentikan mesin di tengah laut dan pergi ke bagian belakang untuk membetulkan mesin, sementara kapal terdiam pasrah digoyang – goyang gelombang.

DSC_0015

Pelabuhan Speed Boat Batulicin

Waktu yang tepat untuk menyeberang adalah pagi hari saat arus tenang, dan jangan pernah menyeberang di atas jam 4 sore kalau tidak mau kena hantam gelombang. Perjalanan menuju Pulau Laut memang cukup menegangkan apalagi bagi saya dan teman-teman P2 Humas yang tidak terbiasa dengan situasi seperti ini. Namun kompensasi ketegangan itu adalah langit biru cerah dan pemandangan yang indah. Jujur, suasana pagi di kala penyebarangan memang cukup menyenangkan, nun jauh terdapat bagan-bagan ikan yang dipasang di tengah laut, sementara di sisi lainnya adalah laju speed boat yang seolah berlomba menjadi yang pertama tiba. Nyiur yang berderet melambai juga menambah indah suasana penyeberangan pagi itu.

Tak lama tim merapat di Dermaga Speed Boat Kotabaru, saya naik dermaga dalam kondisi bergoyang-goyang, pusing setelah perjalanan di speed boat. Tapi kami tak boleh berlama-lama, segera kami berganti naik mobil menuju dermaga speed boat yang akan membawa kami dari Pulau Laut ke Pulau Sebuku, lokasinya agak jauh, sekitar 1 jam dari Kotabaru. Kondisi jalan tidak bisa dibilang bagus, tapi juga tidak jelek-jelek amat, standar lah. Di suatu ruas masih mulus, tapi di beberapa titik masih ditemui jalan berlubang cukup besar.

Kotabaru dulunya di era Belanda adalah salah satu pusat tambang batubara, sampai sekarang tinggalannya masih ada beberapa titik dan terbengkalai di beberapa titik. Masyarakat Kotabaru percaya seluruh pulau itu memiliki kandungan batubara, hanya saja di Kotabaru tidak diizinkan penambangan, benar-benar tidak ada tambang sama sekali. Kotabaru sendiri termasuk kota yang ramai, ekonomi berjalan pesat, bangunan-bangunan baru tumbuh bak jamur. Namun kami tak sempat menikmati kota Kotabaru, kami segera menepi menuju pinggir kota menyisir pinggiran pantai dengan deret ribuan nyiur dan perbukitan di sisi lainnya, menuju pelabuhan Speed Boat ke Sebuku.

DSC_0080

Pelabuhan Speed Boat Pulau Laut

Dermaga speed boat untuk menuju Pulau Sebuku jauh dari keramaian. Hanya ada beberapa rumah termasuk rumah si empunya speed boat. Dermaganya pun terlihat keropos dengan kayu-kayu landasan yang sudah hampir habis termakan usia. Jika tidak berhati-hati bisa saja saya terperosok. Segera kami berganti ke Speed Boat yang akan membawa ke Sebuku, kali ini wajib vest karena speed boat akan melewati lautan dengan gelombang yang lebih ganas, melewat sebagian Selat Makassar. Beberapa cerita pegawai KPP Pratama Batulicin bahkan speed boatnya bisa terbang sampai beberapa meter jika terhempas gelombang. Duh, ngeri.

Angin kencang menerpa wajah, lengkingan mesin speed boat menyertai perjalanan. Sementara bapak juru mudi anteng saja sambil merokok di belakang setir speed boat. Baginya laut adalah sirkuit yang menyenangkan, dia tak segan membalap speed boat lainnya yang tak lain anak-anaknya sendiri. Ya, kami dibawa dengan 3 speed boat, dipimpin sang bapak, sementara 2 speed boat lainnya dikemudikan anak-anaknya. Gelombang disini memang lebih galak, namun juru mudi pun lebih ganas mengemudi. Tak ada kata berbelok menghindari gelombang, semua ditebas diterabas sampai kapal kecil fiber ini tanpa ampun terbang sesaat di udara dan mengocok penumpangnya.

Perjalanan di speed boat ini memakan waktu 1,5 jam. Jadi sudah 3,5 jam kami di jalan hanya untuk mencapai Sebuku, dengan dua kali Speed boat satu kali jalan darat. Saya dan teman-teman tim P2 Humas saja sudah kepayahan, sementara bagi rekan-rekan di KPP Pratama Batulicin ini adalah menu sehari-hari. Menerjang resiko yang boleh dibilang menyerempet maut saat bertugas demi negara tanpa mengeluh, tanpa menuntut, hanya menjalani tugas dengan tekad buat walau banyak keterbatasan. Perjuangan mereka benar-benar membuat saya berpikir bahwa perjuangan saya tak berarti apa-apa dibandingkan mereka, saya tak pantas mengeluh dengan apa yang saya nikmati mereka di Jawa, sementara rekan-rekan saya di Batulicin berjuang 10 kali lipat dibandingkan saya tanpa mengeluh, tanpa menuntut, ikhlas.

DSC_0296

Speed Boat Pulau Laut – Sebuku

Tiba di Pulau Sebuku bukan berarti perjalanan sudah usai, kami masih harus menembus kawasan pertambangan dengan kondisi jalan tanah lempung yang liat. Kendaraan yang membawa kami sampai meraung-raung kepayahan, sementara deru truk-truk besar pengangkut material tambang pun tak berhenti menyapa kami. Sudah hampir 4 jam digempur di perjalanan dan bahkan kami belum sampai ke lokasi.

Sekitar pukul setengah satu siang barulah kami mencapai lokasi tambang, disini istirahat sebentar untuk menunaikan shalat dhuhur dilanjutkan dengan visit area pertambangan. Yang menjadi objek visit adalah stock pile, area pengolahan batubara, mining pit dan port. Visit ini dilakukan untuk mencocokkan data wajib pajak dengan kondisi nyata di lapangan. Pencocokan ini kurang lebih memakan waktu sekitar 2 jam, sampai agenda di tambang selesai sekitar jam tiga sore. Itu berarti kami harus segera kembali secepatnya ke Kotabaru dari Sebuku sebelum jam lima sore, atau jika tidak alamat akan jadi daging cincang di perjalanan karena harus melawan gelombang tinggi. 

DSC_0198

Area Pertambangan Pulau Sebuku

Perjalanan sore walaupun indah karena menjelang senja, namun juga berarti perut kami harus menerima tekanan 2 kali lipat karena gelombang sudah mulai tinggi. Perjalanan pulang pun menjadi lebih lama karena juru mudi harus benar-benar bekerja 2 kali lipat mengendalikan speed boat. Pada perjalanan pulang tak jarang speed boat kami terkena gelombang dari samping yang membuat speed boat terhuyung kehilangan kendali terdorong arus, ini yang membuat saya tak mau melepas pegangan dari besi speed boat, teman sebelah saya pucat dan juru mudi sibuk menstabilkan kapal.

Untungnya tidak terjadi apa-apa saat perjalanan pulang, hanya saja speed boat yang satunya memang sempat terbang cukup tinggi karena menghajar gelombang. Dan itu momen paling mendebarkan yang pernah saya lihat. Di bagian perjalanan ini saya hanya bisa memasrahkan nasib saya pada Yang Kuasa. Dan ketika senja makin memerah, speed boat perlahan merapat ke dermaga, saya kembali berjumpa dengan nyiur, daratan dan siksaan speed boat sudah lewat. Melihat saya yang kepayahan, teman-teman dari KPP Pratama Batulicin hanya tertawa-tawa, seorang yang merupakan senior saya di kampus dan teman main basket bahkan mengejek saya, baginya hal ini sudah hal biasa dan santapan sehari-hari, bagi saya ini adalah neraka yang menguras emosi dan menghadirkan titik ketakutan saya barada pada titik tertinggi. Di Batulicin, teman-teman fiskus sudah bertransformasi menjadi manusia-manusia yang tangguh dan berjuang tanpa pernah mengeluh.

Menjelang maghrib saya termenung dalam mobil yang membawa rombongan kembali ke Kotabaru dari dermaga. Perjalanan baru separuh, belum usai, belum boleh berlega hati, masih ada penyeberangan Kotabaru – Batulicin yang harus dilewati. Coba jika teman-teman di Batulicin memiliki kapal sendiri, atau katakanlah fasilitas penunjang kerja yang lebih baik, tentunya mereka tak perlu menyewa speed boat yang harganya mahal, tak perlu harus menyerempet bahaya menantang laut. Jika mereka berjuang untuk negara, tak bisakah negara memberikan sesuatu agar mereka lebih layak berjuang? Tak rela rasanya perjuangan mereka tak dihargai semestinya dan dihamburkan untuk hal-hal yang sia-sia di Jakarta sana.

Lepas maghrib rombongan merapat ke KP2KP Kotabaru untuk beristirahat sebentar, suguhan sederhana dari teman-teman KP2KP berupa gorengan hangat sudah merupakan sambutan yang luar biasa bagi kami. Dari jam enam sampai jam delapan malam selain beristirahat di gedung KP2KP, tim juga melakukan pengambilan video wawancara pada pegawai KPP Pratama Batulicin, tentang suka duka mereka selama di Batulicin, walaupun di mata saya pasti banyak dukanya, banyak kisah-kisah pedihnya. Ada banyak kisah yang dituturkan, ada banyak keharuan yang terekam di kamera, ada banyak kisah di luar nalar yang tertuang, tertutur mengalir begitu saja tanpa rekayasa.

DSC_0307

Wawancara

Setelah mengambil gambar, maka rombongan kemudian kembali menuju Batulicin. Rombongan 2 mobil yang kembali menuju Batulicin kemudian menembus jalanan Kotabaru yang dirundung gerimis. Mungkin hujan adalah anugerah yang mendinginkan hati karena perjalanan yang sudah panas. Sebelum menuju pelabuhan ferry, karena malam hari tidak mungkin dengan speed boat. Rombongan mampir untuk makan malam sebentar, sekadar menambal perut yang kosong dan kembali mengisi energi yang sudah terkuras hebat seharian.

Jam sembilan malam tim bertolak menuju pelabuhan ferry, teman-teman yang kelelahan segera tertidur di kursi mobil, termasuk saya. Saya memang sudah tak sanggup menahan mata untuk tetap terbuka, perjalanan hari ini benar-benar menghabiskan semua energi saya. Rupanya level kesabaran teman-teman dari Batulicin sudah 1 level di atas manusia rata – rata, kali ini ujian menerpa saat perjalanan pulang. Lampu salah satu mobil yang digunakan ternyata rusak, sehingga sangat redup di jalan. Sementara dari Kotabaru ke pelabuhan penyeberangan ferry masih kurang lebih satu jam menembus hutan nan sepi. Alamak, benar-benar mereka berhati baja, kebetulan saya bersama salah satu pegawai senior KPP Pratama Batulicin yang berkata hal-hal seperti ini adalah hal biasa di Batulicin. Saya hanya tersenyum kecut.

Akhirnya mobil berjalan beriringan, mobil yang lampunya rusak berada di depan sementara mobil yang saya tumpangi di belakang untuk memberi sorot lampu dan panduan bagi mobil depan. Kawasan menuju pelabuhan ferry memang sangat sepi sekali, hanya satu dua rumah yang tampak di tepi jalan. Rencana perjalanan satu jam menjadi molor 2 kali lipat, 2 jam. Dan perkiraan bahwa rombongan akan tiba di Batulicin jam 10 malam hanyalah sekedar perkiraan kosong. Rombongan baru benar-benar merapat di pelabuhan ferry setengah jam sebelum tengah malam.

Kapal meninggalkan Pelabuhan Kotabaru tepat pada tengah malam, saya berada di Muster Station kapal ferry bersama teman-teman peliputan viral story, teman-teman dari KPP Pratama Batulicin dan orang Kanwil Kalselteng. Sebagian karena sudah lelah tetap berada di dek bawah untuk beristirahat. Dengan pemandangan laut lepas berteman bulan dan bintang di langit, saya mengakhiri perjalanan 17 jam untuk meliput perjuangan teman-teman di Batulicin yang memang nyata adanya.

Mau tidak mau dalam hati saya harus mengakui teman-teman di Batulicin adalah patriot-patriot institusi dan seharusnya diberi apresiasi lebih, diberikan fasilitas yang memadai untuk menunjang kinerja mereka yang luar biasa berat. Institusi tidak seharusnya seolah tidak tahu, menutup mata dengan pegawai-pegawai yang berjuang di garis tepi, di kawasan yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya. Jika di kota besar mungkin mengeluh dengan macet, telat absen, take home pay dipotong dan keluhan kota besar lainnya. di Batulicin mereka sudah tak mau mengeluh, mengeluh tidak akan merubah kondisi, perubahan hanya dilakukan apabila bertindak. Untuk apa mengeluh tidak ada listrik, tidak ada internet, jalan rusak, kendaraan tidak memadai, cuaca buruk, gelombang tinggi, mereka sudah kebal dengan hal itu semua. Alih-alih mengeluh yang tak akan merubah kondisi, mereka terbiasa untuk bertindak mengatasi masalah itu agar pekerjaan tidak terganggu.

Jika mau adil, jika mau berkaca, jika mau melihat lebih dekat. Sesungguhnya di daerah yang sering disebut antah-berantah ada pejuang-pejuang yang terus berjuang dengan tulus demi negara, mereka bukan oknum yang memperkaya diri sendiri, tamak dan memperburuk institusi. Mereka adalah orang yang rela jauh dari keluarga dan mungkin hanya bertemu sebulan sekali, hidup terpisah dirundung sepi. Semoga dengan adanya liputan ini yang nanti akan berbentuk viral story, semoga akan terbukakan mata tentang perjuangan dan kehidupan rekan-rekan di daerah.

Tabik dari Batulicin.

DSC_0247

Rombongan berfoto bersama


Filed under: bepergian

Waisak Dan Persoalan Yang Tak Kunjung Usai

$
0
0
45ba2fe8c5ac11e28b3822000a9f15fd_7

lihat mereka yang memotret Banthe. source : instagram @gendisprimon. link : http://instagram.com/p/ZwhzPkLtqC/

Saya bersyukur saya tidak mengikuti prosesi Waisak semalam. Melihat kicauan teman-teman tentang keriuhan Waisyak sepanjang perjalanan Jakarta – Garut tadi malam membuat saya kembali miris dan sedih. Apa yang saya tuliskan tahun kemarin kembali terulang lagi dan (mungkin) lebih parah. Apa sekarang memang era dimana sebuah perayaan agama menjadi tontonan wisata?

Mari berpikir, adalah hak setiap orang beragama untuk menyelenggarakan ibadahnya di Indonesia. Jadi pilihan umat Budha untuk merayakan Waisak yang merupakan hari besar mereka di Borobudur adalah hak mereka, hak asasi paling asasi. Borobudur yang merupakan simbolisme kejayaan Budha di Indonesia memang sangat pas untuk tempat mereka melaksanakan upacara Waisak. Borobudur adalah tempat suci umat Budha dan mereka beribadah di tempat suci bagi mereka, apakah itu salah?

Saya yang semasa kecil turut menikmati keriaan Waisak terheran-heran ketika 2 tahun ini mendadak Waisyak menjadi heboh dengan segala persoalannya. Dulu di era 90-an, Waisyak itu sangat sakral, bahkan kalau dibandingkan sekarang cenderung sepi. Pengamanan Waisyak cenderung ketat, mendadak ada Tentara dan Polisi berjaga. Jalan menuju Mendut dan Borobudur sudah ditutup mulai dari Palbapang (7 km dari candi) sejak H-1. Semua kendaraan yang akan melalui palbapang di sweeping, kendaraan umat Budha silakan masuk, selain itu haram. Ini persoalan bagi penduduk desa saya yang harus melalui palbapang, penduduk desa saya bisa masuk setelah melalui pemeriksaan KTP dan menunjukkan domisilinya. Jika tidak ya tidak bisa lewat atau harus memutar lewat Blabak atau jalan tikus lainnya.

Dahulu era 90-an Waisak memang perayaan semua orang, warga desa di sekitar Borobudur berbondong-bondong takjub melihat arak-arakan dari Mendut ke Borobudur menyemut memenuhi jalanan. Dulu Waisak dianggap sebagai sebuah upacara yang menarik secara kultural bagi warga  Magelang, bukan objek turisme. Warga desa tak jarang harus berjalan kaki berkilometer jauhnya menuju Borobudur untuk turut mengikuti ritual dan keriaan Waisak, hal ini lazim setiap tahun seperti yang dilakukan oleh warga desa saya. Beberapa warga desa bahkan menganggap mengikuti Waisak sebagai ngalap berkah, ada yang meminta air suci, mengambil dupa atau bahkan khusyuk mengikuti ritualnya walaupun bukan penganut Budha.

Ritual Waisak di Borobudur itu universal. Banyak aliran dan sangha berkumpul menjadi satu di Borobudur. Ini sudah terjadi sejak dulu. Di masa kecil, saya digendong bapak menonton arak-arakan ini di Borobudur, saya takjub dengan baju-baju penganut Budha yang beraneka ragam, bhiksu-bhiksu yang datang dari berbagai negara tetangga, umat Budha pribumi yang datang dari lereng-lereng gunung di Magelang, Temanggung dan Wonosobo, bhiksu yang bule sampai bhiksu – bhiksu Jepang sampai orang-orang Tionghoa dengan baju merah-merahnya. Inilah yang membuat waisyak secara kultur menarik, banyak sangha, banyak aliran semua memusatkan hari raya-nya di Borobudur.

Warisan kultural ini menjadi menarik ketika toleransi antara penduduk lokal dengan para umat Budha ini berlangsung amat cair. Dari cerita-cerita ibu dan paman saya, dulu menjelang Waisak banyak Bhiksu-bhiksu itu banyak yang berlalu lalang di Muntilan dan Magelang. Penduduk desa juga secaara sukarela menyediakan rumahnya untuk menginap bhiksu dan umat budha lainnya. Masyarakat sekitar Borobudur turut menyambut saudara-saudaranya yang ingin merayakan hari rayanya. Bahkan ada sinkronisasi Budaya dalam rangkaian acara, ada semacam pengobatan gratis dari Walubi adalah semacam ucapan terima kasih kepada penduduk sekitar Borobudur yang sudah menyambut mereka.

Tapi itu dulu, sekarang judulnya lain lagi. Waisak sudah bergeser menjadi pertunjukan wisata dan kemudian lambat laun menjadi objek turisme, turisme yang sekarang menggejala tak terkendali dan liar. Pun banyak yang mengingatkan tapi tetap banyak yang lupa diri. Banyak yang menganggap bahwa Waisak adalah ritual yang menarik untuk ditonton, masifnya turis yang datang mungkin tidak diimbangi dengan pengamanan yang saya rasa sekarang semakin longgar, mungkin karena tak kuasa dengan banjirnya pengunjung yang datang. Banjirnya pengunjung yang datang saya kira sebelumnya harus diantisipasi dengan benar oleh penyelenggara.

Pengunjung yang menyemut tentunya bukan masalah, tapi jika sampai mengganggu orang yang beribadah tentunya dia bersalah karena mengganggu orang yang sedang beribadah, melanggar hak beribadah. Saya kira pengunjung yang datang semuanya harus memaknai itu, memaknai bahwa Waisak adalah ritual agama, sedang beribadah. Bagi pengunjung yang sudah memahami itu saya kira merekalah pengunjung yang beruntung, pengunjung yang bisa memaknai dengan benar apa arti Waisyak dan tak sekadar hanya terpikat dengan ritual di ujung berupa pelepasan lampion. Bukan sekedar pengunjung yang haha-hihi jepret kanan jepret kiri.

Riuh rendah Waisak ini bahkan sudah lantang beberapa bulan sebelum acara, di beberapa grup pejalan yang saya ikuti semua sudah tampak antusias. Beberapa kali melakukan counter opinion untuk mengingatkan bahwa Waisak adalah perayaan ritual keagamaan, tapi tampaknya tak ada hasilnya, tenggelam dalam antusiasme perayaan Waisak yang hanya dimaknai dari pelepasan lampion. Gendheng - nya ada beberapa trip Waisak yang terang-terangan dijual, komersialisasi ibadah dan mengundang wisatawan mampir? Dengan berbagai alasan mungkin bagi logika saya terdengar menggelikan. Sebagai seorang muslim saya mungkin akan terasa aneh jika ada yang menjual trip misalnya:  “Trip 3 D 2 N, menikmati Ritual Idul Fitri di Istiqlal, bersalam-salaman dan Menikmati Opor Ayam hanya 1.500.000,oo” terdengar aneh bukan?

Saya kira jika kita menengok ke belakang, pengalaman pengamanan ketat di era 90-an, saya kira itu perlu. Pengamanan penting dilakukan untuk menjamin hak orang yang beribadah supaya tidak diganggu, ini adalah kewajiban negara untuk menjamin hak orang beribadah dan harus benar dan harus benar benar dilakukan oleh alat negara. Atau jikalah mau lebih tegas, adalah hak umat Budha untuk beribadah dan melarang yang non Budha untuk tidak turut serta. Itu mutlak prerogatif mereka bukan?

Permasalahan tidak berhenti disitu, akan ada banyak perdebatan yang tak kunjung usai bahkan setelah upacara Waisak dimulai. Entah salah siapa? di dunia maya banyak yang berpendapat, ada yang menyalahkan penyelenggara, ada yang menyesalkan panitia. Perdebatan ini tak henti mengalir di timeline, di facebook dimana-mana. Lalu saya berpikir kembali, saya kira permasalahan ini bisa selesai jika penonton menempatkan diri sebagai umat yang sedang beribadah, beribadah itu harus khusyuk karena itu wilayah teritorial seorang umat dengan penciptaNya.

Saya kira semua permasalahan ini harus dimaknai dengan tegas, Waisak adalah hari raya agama, Waisyak adalah waktu dimana umat Budha beribadah. Mengganggu hak beribadah mereka berarti anda melanggar hak asasi. Untuk permisalan karena saya muslim, jika sedang sholat, disenggol sedikit saja konsentrasi buyar, lha ini difoto dengan flash, banyak lagi flashnya. Bagi yang sudah mengerti saya kira harus turut mengingatkan yang belum mengerti. Bagi yang belum mengerti, jangan sewot jika dinasehati. Jika hak asasi sudah dilanggar, jika umat lain tidak menghormati lantas apa jadinya toleransi yang ramai didengungkan? Jika tak bisa menghormati hak asasi, lantas apa bedanya dengan ormas ormas tertentu yang bertindak sembarangan.

Banyak pekerjaan rumah yang harus dibenahi dan butuh kerjasama dengan berbagai macam pihak. Semoga ke depannya penyelenggara bisa memaknai ini sebagai masukan dan membuat Waisak adalah ritual keagamaan yang khidmat, khusyuk dan damai. Untuk itu saya tak hendak menyalahkan siapapun, tapi ada baiknya semua pihak melakukan koreksi, ya penyelenggara ya pengunjung. Bagi saya pribadi dari kacamata orang Magelang dan kacamata pengunjung, jika ingin turut menikmati ya silakan dengan catatan harus menghormati hak beribadah, jika tidak ya mending tidak usah datang daripada mengganggu dan meninggalkan sampah yang merepotkan.

Tabik.

Tulisan terkait lainnya :

Ary Amhir : Ketika Waisak Jadi Objek Wisata 

Mualim P Sukethi : Rindu Waisak Kultural


Filed under: Uncategorized

Bootcamp Batu Hijau 7 : Maluk dan Cetak Biru Pariwisata.

$
0
0

166010_10200616047142561_766064865_n

 

 

Bentuk CSR dan Community Development dari Newmont Nusa Tenggara memang sangat banyak dan beragam bentuknya, hanya saja sedikit sekali yang menyentuh bidang pariwisata. Tapi bukan berarti tidak ada, salah satu bentuk kepedulian dari Newmont Nusa Tenggara terhadap dunia pariwisata Sumbawa Barat bisa dilihat di Pantai Maluk.

Pantai Maluk sendiri adalah pantai wisata paling dekat dengan lokasi mining Newmont Nusa Tenggara, merupakan sebuah rangkaian pantai di teluk yang luas, air tenang, berpasir putih, tebing-tebing tinggi, langit dan laut biru di kala cerah, satu kata untuk pantai ini, indah. Bagi masyarakat Sumbawa Barat, pantai ini menjadi salah satu rujukan tempat wisata yang cukup menyenangkan, mereka bisa berenang tanpa takut gelombang, bisa pula kayak atau hanya sekedar duduk-duduk dan menyantap makanan sembari menikmati suasana.

Sebelumnya pantai ini tidak tergarap maksimal, kemudian melalui CSR Newmont, maka dibangunlah pondok-pondok warung makan serta sebuah tempat makan yang mampu menampung sampai 50 orang dengan view laut lepas.  Warung-warung tersebut menyajikan makanan yang menurut saya benar-benar nikmat, ada Sepat (Ikan bakar), Dendeng sapi yang menjadi favorit saya, kelapa muda dan banyak makanan lainnya. Jika waktu makan siang, tempat ini akan menjadi spot makan siang favorit bagi beberapa karyawan Newmont dan warga setempat.

Selain itu di sore hari tempat ini menjadi melting pot dan public area bagi masyarakat Maluk, ada yang bermain bola, bermain voli kemudian menikmati senja karena senja di Maluk memang benar-benar membuai, ada juga yang sekedar berenang-renang santai. Wajar, karena pantai ini telah menjadi pantai favorit bagi warga Maluk.

Tak sampai disini, di Maluk juga terdapat penangkaran penyu. Dahulu penyu menjadi salah satu santapan karena dianggap lezat. Begitu populasi penyu menyusut kemudian Newmont membuat penangkaran dan mengedukasi agar tidak lagi mengkonsumsi penyu. Jadilah sekarang penangkaran penyu ini menjadi bentuk kepedulian masyarakat Maluk terhadap keberlangsungan populasi penyu.

Saya kira ini awal yang bagus, membangun sentra pariwisata agar masyarakat bisa hidup dari pariwisata agar saat Newmont tutup nanti mereka sudah bersiap dengan mata pencaharian baru dan tidak tergantung pada tambang semata. Untuk permulaan cetak biru pengelolaan pariwisata di Maluk yang sudah diinisasi oleh Newmont bisa dicontoh oleh masyarakat lain dan pihak pemerintah daerah.

Tabik.


Filed under: Uncategorized

Para Perantau Di Batulicin

$
0
0
DSC_0102

Pak Dikun, Ilham dan Mison.

Ilham panggilannya, lelaki tegap ini adalah seorang Account Representative di KPP Pratama Batulicin. Sejak lulus dari sekolah kedinasan, Ilham meninggalkan Semarang yang jadi kampung halamannya untuk memenuhi tugasnya sebagai seorang nayapraja pajak di Batulicin, meninggalkan orang-orang terkasih dan hidup berjuang di tanah rantau. Berbekal ilmu selama kuliah Ilham termasuk salah satu pegawai pelopor di KPP Pratama Batulicin, ikut merasakan duka-duka saat menegakkan kantor di awal-awal berdiri hingga sekarang.

Ilham turut sibuk mempersiapkan segala sesuatu yang dibutuhkan untuk pengambilan gambar, Ilham juga ikut pontang-panting mengantar kami kesana-kemari menuju lokasi shooting, mendampingi pengambilan gambar di sela kesibukannya sebagai seorang Account Representative. Ilham jugalah yang menyambut tim kami dengan senyumnya yang sumringah saat tim dari Jakarta datang ke kantor. Walaupun malu-malu, Ilham akhirnya mau ikut bermain peran dalam video yang sudah diskenario sebelumnya, rekonstruksi kisah-kisahnya selama bertugas di Batulicin adalah salah satu pemantik cerita yang menarik.

Lelaki Semarang ini tahu banyak tentang Batulicin, seluk-beluknya, tata budayanya, wilayahnya. Bertugas selama kurang lebih 3 tahun di Batulicin lambat laun sudah membuatnya hafal daerah itu luar dalam. Ada banyak mozaik dalam kisahnya selama bertugas di Batulicin, mulai dari yang lucu sampai yang menyeramkan. Kiranya, kisah-kisah itulah yang membuatnya menjadi seorang nayapraja yang teguh dan tangguh.

Prestasi kerjanya pun tak main-main. Di tengah segala keterbatasan di Batulicin, Ilham menjadi salah seorang Account Representative yang berprestasi. Dengan rekan-rekannya sesama AR, Ilham bersama-sama menyokong penerimaan KPP Pratama Batulicin agar senantiasa memenuhi target yang telah diberikan walau harus gulung koming demi menutup kekurangan-kekurangan yang ada di kantor agar tidak ada hambatan.

Dengan segala apa yang telah berikan akhirnya Ilham harus berpisah dengan KPP Pratama Batulicin. Hampir 4 tahun di Batulicin akhirnya dia terbawa mutasi ke Banjarbaru. Mutasi di instansi yang memang sebuah keniscayaanlah yang membuatnya berpisah dengan Batulicin dan menghadapi tantangan baru di daerah baru. Purna tugasnya di Batulicin dilepas penuh haru oleh teman-temannya, dan meninggalkan rasa bangga di benak Ilham.

Pak Dikun, begitu biasanya beliau dipanggil di kantor. Pria paruh baya ini merantau dari Pekalongan di pesisir utara Jawa Tengah menuju Batulicin di Kalimantan. Dia dan keluarganya terpisah Laut Jawa yang juga memisahkan antara Jawa dan Kalimantan demi sebuah tugas negara. Sebagai kepala Seksi Pengawasan dan Konsultasi di pundak Pak Dikun-lah penerimaan kantor turut diamanatkan.

Sebagai perantau, Pak Dikun pulang ke Pekalongan sebulan sekali, atau terkadang dua minggu sekali.  Menjenguk kampung halamannya sekaligus memuaskan rindu yang selama ini dipendam di tanah rantau. Sesungguhnya di Batulicin tak hanya Pak Dikun seorang yang pulang pergi menemui keluarganya. Ada banyak orang-orang tangguh yang atas nama negara harus berpisah dengan keluarganya.

Dengan Pak Dikun-lah kami diantar menuju kebun kelapa sawit yang jalan di dalamnya bak labirin dan membuat kami semua kesulitan mencari jalan keluar. Bersama Pak Dikun-lah kemudian kami diantarkan menuju tambang batubara dan menikmati suasana Kota Batulicin seharian. Tak kenal lelah Pak Dikun mendampingi kami, baik saat pengambilan gambar ataupun saat mengikuti kawan – kawan dari Batulicin bertugas. Menunjukkan beratnya tugas di daerah sekaligus menjelaskan lebih dekat kenyataan, suka – duka di lapangan, di tanah rantau.

Mison nama akhirnya, yang juga menjadi nama panggilan akrabnya. Mison adalah salah seorang yang bisa dikatakan pendiri KPP Pratama Batulicin. Bagaimana tidak, dia datang pertama kali ke Batulicin saat kantor baru berdiri. Menjadi salah seorang yang pertama datang ke kantor. Menumbuhkan semangat di kantor yang baru tumbuh, turut menemani saat kantor berkembang dan akhirnya melepasnya saat kantor sudah tegak berjalan. Ya, Mison bak orang tua yang turut merawat anaknya, dia-lah salah satu orang tua bagi KPP Pratama Batulicin.

Tapi sesungguhnya dia-pun sebenarnya orang tua yang sesungguhnya. Dengan seorang yang manis dan nyempluk yang menjadi buah cinta dengan istri tercintanya. Walaupun begitu, Mison terpisah dengan orang-orang yang ia sayangi, sebagaimana layaknya sesama orang rantau di Batulicin, setiap bulan Mison meluangkan waktunya pulang bertemu keluarganya da menempuh perjalanan yang sesungguhnya begitu panjang. Dari Batulicin ke Banjarmasin kemudian terbang ke Surabaya dan masih harus menempuh perjalanan darat beberapa jam lamanya sebelum bertemu dengan keluarga tercintanya di Banyuwangi, antara Batulicin dan Banyuwangi begitulah kira-kira sebagian fragmen kehidupan Mison yang ia jalani.

Bak orang tua, akhirnya Mison harus meninggalkan Batulicin yang telah ia besarka, pasti berat bagi Mison untuk melepaskan Batulicin dan menuju tempat tugas baru di Banjarbaru. Begitulah jalan hidup seorang fiskus, harus siap ditempatkan dimanapun instansi  menugaskan, berpisah dengan keluarga, berpisah dengan orang tercinta dan menghadapi tantangan di tempat kerja hari demi hari.

Namanya Cepi, dari namanya sudah bisa ditebak darimana Cepi berasal. Ya, jajaka Sunda ini mengikuti garis nasib seperti senior-seniornya di sekolah kedinasan. Lulus kuliah, berbekal surat penugasan berangkatlah Cepi ke Batulicin untuk menunaikan tugas yang sudah menjadi kewajibannya.

Cepi-lah orang pertama yang dihubungi mas Ikhsan dari P2 Humas untuk mengabarkan kedatangan tim P2 Humas untuk meliput kegiatan di KPP Pratama Batulicin. Dan Cepi jugalah yang menjemput kami di Bandara begitu kami mendarat di Bandara Batulicin. Cepi cukup fasih menjelaskan tentang Batulicin, turut mendampingi saat ke Sebuku untuk visit tambang.

Tampaknya Cepi adalah seorang yang serius dalam tugas dan disiplin. Bantuannya selama di Batulicin benar-benar memuluskan usaha kami untuk mengambil gambar dan melaksanakan tugas. Sehari-hari Cepi adalah seorang Account Representative, di pundaknyalah beban penerimaan kantor turut dipanggul.

Walaupun masih tergolong muda, namun Cepi sudah menyandang jabatan Account Representative. Jujur ini bukanlah jabatan yang main-main, ada banyak tanggung jawab yang disandang ketika sudah mengemban jabatan Account Representative. Itu adalah bentuk regenerasi, dimana yang muda-muda sudah disiapkan untuk menggantikan yang lebih senior andaikata mutasi tiba.

Rela, dulu teman main basket semasa di kampus dan kakak kelas satu jurusan. Seangkatan dengan Mison, Rela menjadi saksi bagaimana kantor berdiri. Senada dengan Mison, Rela pun menjadi seorang Account Representative di KPP Pratama Batulicin. Rela-lah yang sudah siap pagi-pagi dan mendampingi tim menyeberang berjam-jam lamanya menuju Sebuku. Rela juga yang kemudian dipilih untuk menceritakan suka – duka selama bertugas di KPP Pratama Batulicin yang bagi saya sungguh mengharukan. Dari Purworejo, Rela jauh-jauh merantau sampai Batulicin. Sama seperti yang lain, menjadi anak rantau di negeri orang karena tugas meninggalkan keluarga nun jauh disana.

Dari tanah Purworejo sampai ke Batulicin pasti jauh dari benak Rela. Walau begitu dengan kemantapan hati, Rela menjalani hari demi hari, atas nama sebuah kata : pengabdian. Pahit manis di Batulicin adalah bumbu yang mengisi hari-hari Rela.  Bertemu Rela kembali setelah sekian tahun lamanya membuat saya hanya bisa memberikan salam hormat padanya atas segala pengabdiannya di Batulicin.

Rela termasuk yang terbaik di kantor, berdedikasi dan sungguh-sungguh. Namun seperti Mison, Rela pun harus pindah tugas dari Batulicin menuju Banjarmasin. Meninggalkan kantor yang sudah menjadi tempat pengabdiannya selama hampir 5 tahun lamanya. Meninggalkan kantor yang ia besarkan dan membesarkannya.

Sesungguhnya saya kehabisan kata-kata untuk meneruskan tulisan ini. Ada banyak sosok-sosok yang bersahaja dengan perjuangan luar biasa di sana. Dan saya hanya tak bisa menggambarkannya keluarbiasaan mereka. Perjuangan mereka inspiratif sekali dan layak dijadikan contoh bagi rekan-rekan fiskus lainnya.

Di Batulicin, mereka secara bersama-sama saling bekerja sama untuk mengatasi tantangan hidup di perantauan. Komposisi pegawai di kantor memang didominis para perantau, bukan warga lokal. Hal ini harus menjadi catatan untuk menjamin hak-hak mereka setelah para mereka menjalankan kewajibannya sebagai nayapraja pajak.

Karena sesungguhnya institusi ini berdiri dan tegak dari para perantau seperti mereka.

Tabik.

nb :

- Terima kasih untuk Pak Wakhid, Kepala KPP Pratama Batulicin atas seluruh bantuannya. Sebagai seorang kepala kantor, beliau adalah seorang yang sangat inspiratif.

- Akhirnya bisa bertemu Abid, teman SMP dan sekampus semasa kuliah. :)


Filed under: Uncategorized

Wawancara : Barlian, antara Kegalauan, Perempuan dan Orangutan.

$
0
0

422490_3081974440806_2005262737_n

Untuk menemani jumat yang katanya ceria, maka saya postingkan sesuatu yang renyah dan bisa dikunyah tanpa berpikir panjang dan membuat kening mengkerut. Kali ini wawancara dengan salah seorang sahabat saya yang sekarang merantau   di hutan Kalimantan, namanya sih keren Barlian, tapi entah kenapa panggilannya jadi Pupung. Karena menurut saya kepanjangan, akhirnya saya malah memanggilnya “Pup”. Kurang ajar ya saya?

Pupung ini semasa SMA adalah tipe cowo idaman wanita. Tinggi, putih, kumis tipis menawan, jagoan basket sekolah, pintar, supel, periang, anak IPA, pokoknya tipe-tipe cowo baik di sinetron2 a la anak SMA. Tanpa tebar pesona pun Pupung sudah mempesona, itu sumpah benar. Kalo Pupung lewat, biasanya cewek-cewek di SMA langsung berteriak “Kyaaa-kyaaaa….” dengan pipi bersemu merah dan senyum merekah indah, bahkan kadang-kadang Pupung dicegat hanya demi minta tanda tangan atau foto bersama. Ya, di SMA Pupung bagaikan Le Bron James di NBA, idola wanita muda.

Kenapa saya memilih Pupung untuk diwawancara? tak lain adalah Pupung adalah seorang travel buddy saya yang pertama. Ceritanya saat kelas 2 SMA, saya, Pupung dan seorang teman lagi SB, tiba-tiba nekat ke Malang dengan uang seadanya. Tak hanya stop di Malang, saya bahkan ke Surabaya, berkeliling Surabaya dengan mobil sodaranya SB walaupun kami bertiga tidak ada yang punya SIM dan pulang kembali ke Malang dengan sepeda motor dari Surabaya. Gila pokoknya.

Nah, berikut ini beberapa intisari percakapannya, yang penting-penting saja ya? karena jika saya dan Pupung ngobrol isinya banyak yang tidak penting. Dalam wawancara ini, Pupung banyak berkisah tentang pekerjaannya sebagai Dokter Hewan di BOS Nyaru Menteng, menceritakan kecintaannya pada orang utan alih-alih pada perempuan. Silakan :

S / Saya : Pung, Mulai yo?

P / Pupung : Yo..

S : Pung, kenapa kamu traveling?

P :  Golek angin segar to (Cari angin segar-lah) karo passion (dan passion).

S : Kalo angin segar gausah traveling, pake kipas angin aja pung. 

P : Syit..

S : Pung jalan2 pertama kemana?

P : Sama kamu chan, ke Malang…

S : Ceritakan dong pung..

P : Ceritanya gimana ya? lupa e.. sama kaya critamu pokoknya chan..

Berhenti? belum. Wawancara terputus karena Pupung menerima telepon. Dari selingkuhannya mungkin. Eits, tapi kan Pupung memilih Orang Utan. Jadi selingkuhannya?
S : Lanjut pung.. jadi kamu kudu cerita soal perjalanan ke Malang dari sudut pandangmu..
P :  awale dari ajakan SB (nama orang bukan Sleeping Bag) dan kebetulan kog pas pas liburan, dapat ijin, ada teman dan akhirnya berangkat. 

untuk pertama kali main sendiri tanpa pengawasan orang tua atau pun orang yg lebih tua, ada rasa cemas, tapi karena SB sudah sering ke Malang jadi kayaknya bakal safe di Malang.

pas di Malang , kog menarik, tak terbiasa liat jalan besar-besar, e rupanya jalanan di sana besar-besar. 

dan adem

hahaha 

pas itu sebenarnya aku ga ngerti apa-apa chan, cuma tertarik buat main aja dan ada guide. Jadi di pikirangku hanya pengin main-main dan tahu Malang itu seperti apa.

S : Nah kan itu traveling pertama, selanjutnya jadi ketagihan ?

P : Bisa dikatakan ketagihan sih hooh, tapi menilik dompet njuk kagol. (kagol = kasih tak sampai)

semasa kuliah sih aku traveling lebih sebagai delegasi UKM satwa liar.

S : Coba jelaskan itu Pung..

P :  ceritanya itu kami punya forum study satwa liar seluruh Indonesia dan yang paling akrab waktu itu hanya UGM dan Unair. Biasanya kami saling mengundang kalo ada acara internal kami kebetulan pas itu ada undangan dari UNAIR, ditawarkan sama senior, maka berangkatlah aku. Sampe Surabaya setelah hampir 8 jam perjalananan, sampe jg di kampus FKH Unair.

Istirahat sebentar, malemnya berangkat kami ke  Taman Nasional Alas Purwo. Disana kami diperkenalkan tentang penyelamatan tukik (anak penyu) sama kegiatan yang selalu kami kerjakan yaitu birdwatching di alam bebas 

Disana yang menarik adalah di jalan lumpur yang bisa dilewati bis, aku ngeliat penampakan merak jantan yang sedang mengembangkan bulunya. Kegiatan selesai dan kami pulang chan.  

S : Wah berarti passionmu di hewan?

P : Konservasi chan, konservasi satwa terancam punah.

S : Jadi itu alasanmu ke Kalimantan?

P : Ho’o, karena setelah lulus dari kampus, teman-teman pria jarang yang tertarik. 

(Saya kira itu benar, teman-teman pria Pupung pastinya lebih tertarik pada perempuan daripada orang utan, itu ciri-ciri pria normal, berarti Pupung?)

dan karena melihat track – recordku di UKM Satwa Liar juga. 

Pengin tak ceritani perjalananku yang agak menakjubkan ng kene ra chan

S : Boleh, gimana itu ceritanya?

P : Ini tugas sih,tapi kuanggap traveling. 

Jadi aku disini pernah sebulan di hutan yang mungkin jaraknya sekitar 300 kilometer mungkin dari tempatku tinggal. Listrik minim, hanya genset dan tanpa sinyal.

Perjalanan awale sih mulus karena dari kota, tapi setelah sekitar 5 jam perjalananku sudah mulai berlumpur dan sempat terjebak lumpur kurang lebih 1,5 jam dan posisi itu di tengah-tengah hutan. Itu jam 4 sore sih, tapi lalu mikir kalo hampir gelap gini lak yo edan, mana desa terdekat masih 3 jam perjalanan. Tapi untungnya kami berhasil melewati itu. 

Sampelah kami di aliran Sungai Barito, perjalanan darat kami ganti perjalanan air, selama 4 jam tapi dengan perahu motor besar. Abis itu perjalanan kami ganti lagi. Naik darat lg, pake hartop (Toyota Hardtop) , jalan e naik turun nggilani, naik – turun bukit.

Setelah 2 jam baru sampai desa yang rupanya bekas perusahaan kayu. Disitu nginep semalem lagi.  Perjalananku berlanjut lagi pake perahu motor kecil yang sangat ga nyaman banget dan suarane ki nyetar (memekakkan telinga) banget. Perjalanan ini harus melewati arus deras karena daerah hulu, riamnya banyak. Selama 8 jam dari awal sampe ke camp.

Tapi disana luar biasa selama perjalanan, ketemu flora dan fauna yang jarang banget ditemui. Yang menarik pas pulang chan, ternyata ada air terjun di perjalanan darat yg 2 jam tadi yang keliatan dari jauh, cantik.

602451_3737766235191_1459334084_n

552489_3738002001085_1425428239_n

S : Woh..ceritanya sangar Pung! By the way kamu kan ganteng dan idaman perempuan, tapi kenapa justru milih Orang utan?

P : Hahaha… ini pertanyaanmu menjerumuskan.. ora ono pertanyaan lain?

S : Sampai saat ini belum ada Pung..hahaha..

P : Kalo itu gara-gara lowongan di satwa liar. Ada sih yg NGO lain, tapi pertimbangan gaji , walo ga beda jauh tapi yang ini lebih banyak gajinya. hahahaha. 

Awalnya aku ga kenal orangutan ko chan, aku malah tertarik ke harimau.

(Jadi dulu Pupung jatuh cinta pada harimau, tapi rupanya Orang Utan menelikung cintanya)

Tapi karena informasi soal harimau hanya sedikit dan channel juga ga ada, dan kebetulan ada channel disini, akhirnya aku milih disini.

S : Terus ga tertarik ke cewek?

P : Masa  kudu tak jawab kalo aku ini masih normal chan.  hahahaha. gimana? mau nyariin aku cewek po chan?

S : Hush..malah curhat! ini wawancara woy! Terus sampai kapan di konservasi orang utan?

P : Rencanaku 2 tahun lagi.

S : Setelah itu?

P : Mau nemenin orang tuaku di Magelang. Gatau mau kerja apa, tapi sudah ada planning mau wirausaha chan. 

Aku gamau jauh dengan orang tua sementara umur mereka tahun ini 60. 

Masku di Jakarta, Mbakku di Cilegon dan aku ga ngelewatin sedetikpun waktuku dengan mereka. :(

S : Kamu anak yang berbakti Pung. Aku terharu.

P : Yang bisa bikin aku nangis kalo punya masalah justru malah orang tuaku chan, aku selalu nangis ketika ingat wajah orang tuaku.
S : Terus, selama di konservasi apa yang kamu dapat? apakah itu membentuk kepribadianmu?
P : Kepribadian masih sama chan, yg pasti ilmunya dapet, pengetahuan tentang orangutan bertambah, tentang kenapa hutan semakin lama semakin berkurang juga aku semakin paham. Selebihnya ya prosedural kantor biasa.
S : Pung kamu sampai kapan sendiri? di Kalimantan lho, jauh dari keluarga, jauh dari teman..
P :  Ga ngerti chan, itu yang jadi beban pikiranku beberapa minggu ini. Untuk sendiri sebenernya ga, kalo kata dosenku aku sih orangnya gampang beradaptasi, gampang berteman. Walau kadang aku merasa pengen ngopi-ngopi lagi seperti dulu, ngobrol sama Shirom, ngobrol sama kamu seperti jaman SMA dulu. 

Pengen banget. Masih beruntunglah jaman sekarang teknologi komunikasi, walau ga memuaskan sih, setidaknya melegakan. 

S : Terus untuk mengisi kesepian di Kalimantan gimana caranya? kan isinya hanya hutan dan orang utan.

P : Untungnya ga chan, akses udah enak ko. Ke kotapun cuma 28 kilometer jauhnya.

S : Pung, terus di Kalimantan ada rencana traveling kemana?

P : Rencana mau ke Tanjung Puting.

S : Oia, terus di Nyaru Menteng banyak wisatawan atau traveler yang berkunjung ndak?

P : cuma berkunjung?

hmm.. jarang… 

kebanyakan mah keluarga, siswa dan siswi. jarang banget chan, karena disini lebih ke pusat informasi aj, dilarang masuk ke area karantina.

S : Berhubung sudah malam, ini pertanyaan terakhir.. menurutmu makna traveling itu apa?

P : Traveling itu ya pergi ke suatu daerah yang dipingini dengan kemampuan dan kemauan masing-masing individu dan menikmati “sajian” tempat tujuan yang disambangi, apapun bentuk “sajian” itu. 

Selain itu juga menikmati proses bertraveling yang penting. Kalo aku sih terkadang lebih menikmati perjalanan travelingnya daripada tujuannya.

S : Yowes pung aku pamit sek. Sakses di Kalimantan.

P : Podo2 chan. Sukses buat karir dan travelingmu, suatu saat kalo kamu traveling, aku melu.

Yak, kiranya demikian wawancara dengan Pupung. Cukup panjang dan semoga tidak membosankan saat dibaca. Jika ingin berkenalan lebih dengan Pupung bisa menghubunginya di twitter @maspup.

Sehari-hari Pupung bertugas sebagai dokter hewan di BOS Nyaru Menteng, bertugas menjadi seorang petugas konservasi Orang Utan yang sudah menjadi idamannya. Sebuah profesi yang sungguh mulia. Selain itu Pupung juga piawai memotret Orang Utan, beberapa hasil fotonya sangat bagus dan menyentuh.

Oia, jika kamu perempuan single suka pria berdada bidang, berkumis tipis, penyayang binatang dan jagoan binatang, Pupung adalah pria yang tepat untukmu. Sejauh ini dia masih Jomblo. X)

Tabik.

154848_4812847031539_776822778_n
534933_4828310898126_1295970869_n
561852_4119268532510_2122403687_n (1)

Filed under: tokoh

Membaca Magelang : Sebuah Resensi.

$
0
0

original

Adalah Anyelir, yang tahun lalu memberi tahu saya bahwa ada proyek kompilasi penulisan buku, Membaca Magelang. Saya pun mengiyakan, lewat Anyelir juga akhirnya saya tahu kemana saya harus mengirim naskah yang sudah saya tulis. Dan akhirnya lebih dari setahun kemudian, Anyelir juga yang jauh-jauh datang ke rumah untuk mengantarkan buku Membaca Magelang tersebut ke tangan saya.

Saya pun hanya tersenyum kala membuka lembar demi lembar buku Membaca Magelang, bagi saya ini adalah karya tulisan pertama saya yang dibukukan. Rasanya mungkin seperti melihat kelahiran seorang anak, hati berbuncah saking riangnya. Ya, walaupun tulisan tersebut hanya ala kadarnya, ditulis cepat-cepat dan mungkin seharusnya tidak layak kurasi.

Membaca Magelang adalah buku kompilasi tentang kota kedua yang saya baca, buku pertama adalah Makassar Nol Kilometer. Ada perbedaan mendasar dari kemasan dua buku tersebut, jika Makassar Nol Kilometer lebih menitikberatkan pada fenomena sosial, kritik dan situasi terkini Makassar, at Membaca Magelang lebih menitikberatkan pada suasana nostalgia Magelang di masa lalu. Tapi esensi kedua karya tentang kota tersebut sama, membicarakan kota tempat tumbuh dan berkembang para penulisnya.

Ada banyak tulisan tentang tentang Magelang dari banyak penulis yang datang dari berbagai latar. Saya terkesima saat membaca kisah Magelang di era 70-80 an yang ditulis oleh ibu penjual soto, dan rupanya setelah saya simak sampai habis tulisan beliau, rupanya soto tersebut adalah soto langganan saya dan keluarga. Ada juga kisah soal culture shock seorang perantau dari Jambi yang kikuk dengan Magelang, sampai akhirnya setelah bertahun-taun, kekikukan-kekikukan itu kemudian berubah menjadi rasa betah.

Mayoritas tulisan di Membaca Magelang adalah kilasan waktu masa lalu, bisa dijadikan gambaran seperti apa Magelang beberapa tahun silam. Saya tertarik dengan kisah jalan kaki menyusuri Magelang selepas shubuh, kisahnya begitu runtut dengan menceritaka yang apa yang ditemui di Magelang sepanjang pagi buta. Sebuah angle yang unik dari sebuah perjalanan yang sederhana yang justru menghasilkan sebuah cerita yang kuat tentang Magelang.

Kiranya tulisan – tulisan di Membaca Magelang ini cukup untuk menggambarkan Magelang itu seperti apa. Hanya saja, tulisan-tulisan di buku ini masih sangat mentah dan apa adanya. Terkadang di beberapa fragmen cerita, saya terkaget-kaget dengan alur yang melompat-lompat, dengan cerita yang kadang yang justru tidak menceritakan Magelang dan terjebak dengan menceritakan dirinya sendiri. Tapi mungkin itu adalah kekayaan dari buku ini, dengan banyak bentuk fragmen cerita yang kemudian dikumpulkan jadi satu.

Saya kira buku ini adalah salah satu kemajuan yang luar biasa dari dunia literasi Magelang. Selain itu buku ini juga bisa menjadi catatan tentang perkembangan kota dari orang-orang yang bermukim di dalamnya. Dan saya berharap, semoga akan ada buku Membaca Magelang jilid kedua.

Tabik.

nb : buku ini dicetak secara Do It Yourself dan diinisiasi oleh Magelang Book Corner, untuk support dan tertarik dengan buku ini, silakan kontak @lusiadayu dan @ginteguh .


Filed under: Portofolio

Bootcamp Batu Hijau 8 : Pendidikan dan Kesehatan Masyarakat

$
0
0

935608_10200656555955256_768025365_n

Pendidikan.

Bentuk CSR yang paling banyak ditemui adalah CSR di bidang pendidikan, dan itupun yang dilakukan oleh PT Newmont Nusa Tenggara dengan melakukan bentuk-bentuk CSR di bidang pendidikan. Saya bertemu dengan Kepala Sekolah SD Negeri 2 Maluk, sekolah yang kami kunjungi saat Bootcamp Batuhijau untuk melihat bagaimana CSR di bidang pendidikan yang dilakukan oleh Newmont. Pak Kepala Sekolah bertutur, beberapa dekade lalu, SD ini tidak ada apa-apanya, hanya seonggok bangunan a la kadarnya dan cukup memprihatinkan untuk disebut sebagai sekolah.

Sebelum Newmont kemudian menggelontorkan dana CSR – nya, SD ini mungkin tidak dilirik oleh pemerintah, selain lokasinya jauh, daerahnya juga sepi. Seperti yang pak kepala sekolah bilang, a la kadarnya. Tapi kemudian sekolah ini kembali menjadi sekolah yang cemerlang berkat dana CSR dari Newmont. Bangunan diperbagus, fasilitas diperlengkap dan mutu pendidikan pun meningkat.

Apa yang dilakukan oleh Newmont tampak nyata di sekolah ini, dari SD Negeri yang bukan apa-apa, sekarang menjadi SD Negeri dengan segudang prestasi dan sederetan piala. Ketika tim kami yang terdiri dari Mumun, Bram, Ibnu, Audrey, Rohib, dan Mas Harris masuk untuk mengajar anak-anak SD Negeri 2 Maluk sebagai bagian dari kegiatan Bootcamp. Terlihat jelas kekritisan dan kepintaran anak-anak di SD tersebut. Anak-anak berebut menjawab pertanyaan pun menyimak presentasi dengan tekun.

Selain pembangunan infrastruktur pendidikan di sekitar tambang, Newmont juga sudah memberikan beasiswa kepada anak-anak berprestasi di Sumbawa Barat. Banyak diantaranya yang mendapat beasiswa sampai tuntas perguruan tinggi. Komitmen ini terus dijaga oleh PT Newmont. Untuk periode 2013/2014 direncanakan akan ada sekitar 558 penerima beasiswa yang terbagi dalam beberapa kategori. Hal ini menunjukkan bahwa upaya CSR PT Newmont ini akan terus berkelanjutan untuk membangun masyarakat di sekitar tambang melalui pendidikan.

Kesehatan.

Selain soal pendidikan, kepedulian PT Newmont Nusa Tenggara terhadap lingkungan sekitar juga diwujudkan di bidang kesehatan. Dalam kesempatan bootcamp ini, seluruh peserta bootcamp diajak untuk mengunjungi Puskesmas Sekongkang. Disini kami ditunjukkan dengan CSR yang dilakukan oleh Newmont yaitu pembangunan bangunan fisik Puskesmas yang sekarang sudah bisa melayani masyarakat Sekongkang dengan begitu baik.

Bangunan fisik yang dibangun oleh Newmont diantaranya adalah bangunan rawat inap di sisi belakang Puskesmas. Tak hanya berhenti di pembangunan fisik, Newmont juga membuat gerakan untuk memberantas Malaria di kawasan Maluk, Sekongkang dan sekitarnya. Bisa dibilang di masa lalu, kawasan Maluk adalah daerah endemik Malaria dan itu cukup menjadi momok bagi penduduk setempat.

Namun kemudian Newmont hadir dengan program pengendalian Malaria dan hasilnya sekarang kawasan sekitar tambang sudah terbebas dari kawasan endemik Malaria dan sampai sekarang tes rutin Malaria ini masih dilaksanakan untuk mengontrol populasi nyamuk Malaria di kawasan Maluk, Sekongkang dan sekitarnya.

Dari 2 hal di atas, saya tidak bisa menyangsikan lagi komitmen CSR Newmont. Itu hanya 2 dari beberapa bentuk CSR yang sudah Newmont lakukan, masih ada banyak bentuk CSR lainnya seperti pembangunan kebun bibit, pembiakan sapi, pembangunan sumber air dan banyak hal lainnya. Banyak hal yang seharusnya menjadi tanggung jawab pemerintah, kemudian diambil alih oleh Newmont, hal yang sebenarnya sudah bukan tanggung jawab Newmont sebagai perusahaan. Sebagai perusahaan tambang, Newmont sudah banyak melakukan hal-hal untuk menjaga lingkungan tetap lestari kehidupan masyarakat setempat.

Tabik.


Filed under: bepergian

Lost In Arashiyama | Majalah Getaway Edisi Juni 2013

$
0
0

Tulisan ini dimuat oleh Getaway! Magazine edisi Juni 2013.  Berisi kisah perjalanan saya saat berjalan-jalan sehari di Distrik Arashiyama, Kyoto, Jepang tahun 2012 silam. Arashiyama sendiri adalah distrik tua di Kyoto, bangunan-bangunannya masih asli sejak ratusan tahun silam, kuil-kuil tua, jembatan yang umurnya ratusan tahun, hutan bambu, kereta api wisata dan bahkan Kuil Tenryuji di Arashiyama masuk dalam Unesco World Heritage Site.

Worth to visit bagi penikmat heritage jika suatu saat mengunjuni Jepang. Sempatkan sejenak untuk mengunjungi Arashiyama yang jaraknya tak lebih dari setengah jam dari Kyoto dengan menggunakan kereta listrik.

Jika ingin membaca lengkapnya silakan membeli majalah tersebut di toko buku terdekat. Terima kasih untuk Mas Yudasmoro sebagai managing editor untuk kesempatannya.

Tabik.

1

2

3


Filed under: Portofolio

Soal Pembajakan Karya

$
0
0

Saya tertegun membaca postingan Mas Ari soal karyanya yang dibajak tadi pagi. Dan bukan sekali dua kali, mungkin beberapa kali seperti yang ia tuturkan di postingannya “Tentang Menghargai Karya Orang Lain”. Saya kemudian jadi berpikir sekali dua kali, ini tampaknya soal bajak membajak karya ini sedang seksi dibahas.

Saya jadi berpikir. Di era internet sekarang apa sih yang tak bisa dibajak? Semua bisa dibajak. Jadi bingung, apakah kita jadi berhenti berkarya? marah? atau bagaimana. Saya kira kasus ini sudah tidak sekali dua kali, beberapa waktu lalu saya pernah menyimak kasus foto Lostpacker yang juga dipakai oleh Detik Travel. Panjang sekali urusannya.

Saya memproteksi foto, saya menulis di blog dan tentunya ditulis dengan berpikir keras. Rasanya sayang juga kalau tulisan dibajak begitu saja. Tapi saya bisa apa? jaman sekarang sudah canggih, mau bagaimanapun tetap bisa dibajak. Watermark bisa dihapus. Itu memang resiko di era sekarang. Resiko mengunggah sesuatu di internet yang sekarang tidak bisa dihindari.

Mungkin jalan satu-satunya ya memang diikhlaskan begitu saja. Saya mungkin akan belajar ikhlas, toh tulisan saya memang awalnya memang saya bagikan untuk siapa saja yang mau membaca. Saya tidak tahu bagaimana harus bersikap, marah mungkin iya, tapi ga tahu harus bertindak apa.

Pembajakan memang tak bisa dihindari. Banyak campaign misalnya yang dilakukan musisi untuk menghargai karya, tapi pembajakan jalan terus dan semakin mengglobal, dan itu makin mengerikan. Mungkin solusinya memang berdamai dengan pembajakan, mungkin lho ya.

Soal pembajakan itu saya malah cenderung setuju apa yang Pandji bilang dalam tulisan panjangnya “Menghargai Gratisan” karena mau tak mau kita harus hidup dengan pembajakan, daripada susah-susah melawan bagaimana kalau berdamai dengan cerdas. Bahwasanya walaupun dibajak, si pembajak tidak bisa membajak otak penulis aslinya. Otak kita adalah aset yang tak bisa ditiru, dicopy, dicuri. Dan itulah nilai kita.

Dari tulisan panjang Pandji tadi sebenarnya ada sedikit kata di paragraf terakhir yang cukup menohok saya.

Sebarkan ilmu anda.
Knowledge is king
Your knowledge is ur currency
Knowledge is FREE

Ya, saya tak bisa membantah kata-kata Pandji tadi.

Sekali lagi, saya tidak tahu bagaimana soal menyikapi bajakan. Saya mungkin akan marah, geram. Tapi saya rasanya harus berkaca pada diri saya, saya setiap hari menikmati musik-musik bajakan, saya juga rutin menikmati film-film bajakan, saya mungkin pernah copas tanpa menulis sumber saat menulis makalah di kala saya kuliah, jadi jika karya saya itu dibajak, mungkin itu karma bagi saya. Dan saya harus menerimanya bukan?

Sebagai penutup, mungkin saya sendiri harus mencoba bersikap berbesar hati. Ada kata-kata Mike Shinoda tentang pembajakan musik yang ia alami.

MIKE SHINODA: The part about downloading is actually a common misconception; I don’t support
stealing music. Artists work hard to make and put out their songs, and they should be able to reaprewards from their work. I do, however, accept the fact that, the way the internet is, I can’t stop anyone from stealing it.

Saya sih berharap pembajakan tidak menghentikan karya seseorang. Mungkin terus berkarya tanpa mengabaikan pembajakan yang terjadi adalah jalan tengah terbaik.

Tabik.


Filed under: Uncategorized

Wawancara : Adriani Dan Mimpi-Mimpinya Tentang Heritage Di Indonesia

$
0
0

398107_10151396859085982_920753316_n

Di hari yang lumayan cerah ini, izinkan saya berkisah tentang seseorang yang mencintai sejarah. Namanya Adriani Zulivan, akrab dipanggil Adri. Perempuan yang pastinya sudah memikat hati banyak pria ini adalah salah seorang aktivis penggiat heritage di Indonesia. Boleh dibilang hidupnya didedikasikan untuk heritage.

Sudah banyak langkah nyata di bidang heritage yang ia bidani. Mulai dari Heritage Day sampai upaya #SavePrambanan, semua demi kelestarian heritage/pusaka dan keberlangsungan sejarah negeri ini. Sebagai sesama pecinta sejarah, ada baiknya saya mewawancarai Adri untuk melihat bagaimana pandangannnya tentang heritage di Indonesia.

Saya / S : Iso dimulai opo ora iki Dri wawancarane?

Adri / A : Haya monggo…

S : Kenapa tertarik ke heritage? apa karena background pendidikan? apa karena keturunan?

A : karena… opo yo?

Kalo tertarik dengan heritage sebagai obyek, entah kenapa gak tau. Sejak kecil suka sama hal-hal yang berbau budaya gitu. Hobi banget nonton Anak Seribu Pulau-nya Garin Nugroho. Takjub banget pertama liat Pambanan waktu SMP.

Kalo heritage sbg isu baru bergerak aktif di ranah itu desember 2011. Lalu bikin Indonesian Heritage Inventory (IHI). sekarang kerjaan formalku malah banyak di isu heritage.

S : Bisa diceritakan soal kerjaan formal yang mengurusi heritage itu?

A : Kerjaanku sebagai marketing communication di bidang renewable energi, poverty, social media development, dan lain lain, kebanyakan sih social research. Dari perusahaan, kampus dan NGO.

Nah sekarang lebih banyak di heritage. Jadi sekarang oragn kalo butuh marketing communication untuk heritage, udah mulai ‘kenal’ aku.

S : Brandingnya kuat yaa…

A : Kalo branding di heritage-nya mulai kebentuk, nanti malah menguntungkan karena ‘pemainnya’ masih sedikit.

S : Pandanganmu soal heritage di Indonesia sendiri piye?

A : Formally, Indonesia kini masuk 3 dekade pelestarian heritage. Kita masih di tahap “pendidikan”. Soal preserving masih merangkak dan jatuh bangun. Pendidikan itu ya pendidikanuntuk masyarakat agar tumbuh awareness agar ikut menjaga, Pendidikan ke birokrat agar membuat kebijakan yg pro pelestarian. gitu.

Ngomongin hal-hal seperti negara2 lain kita masih jauh panggang dari api. Misale Penang, yang heritage sederhana-sederahana banget itu aja, di Indonesia ada semua. Tapi mereka menang di pengemasan. Lha kita? Ya masih jauh. Warga yang punya rumah-rumah tua kalo bisa malah pada hancurin bangunannya, bikin ruko puluhan pintu lalu jual, ini lebih mudah secara ekonomi bagi mereka. Sederhananya gitu.

Informal : Heritage di Indonesia banyak yg bisa kita kemas sederhana. Sesederhana kamu jalan, motret, nulis lalu upload seperti yg kamu lakukan chan. Sesederhana bikin demo bikin tempe benguk, videokan, upload di youtube. Dan banyak lagi langkah yang bisa dilakukan. Ini cita-citaku sih. Tapi entah kapan bisa terwujud. hahahaha

( Soal Tempe Benguk, tulisan tempe benguk saya pernah dilirik Adri dan dimasukkan ke dalam Indonesia Heritage Inventory, bisa dibaca disini.)

S : hahahaha

A : hahaha… Gini nih, banyak mimpi, minim energi dan sumberdaya. Tipikal warga negara dunia ketiga.

S : Soal pemerintah menurutku karena kekurangan SDM lho mbakyu. Misalnya berapa sih jumlah arkeolog dibandingkan dengan jumlah heritage indonesia yang bejibun.. Pie mbakyu?

A : Itu juga masuk. Tapi bukan soal kurang SDM ahli dan memangmg jumlah heritage yang kita awasi buanyuaaak. Tapi kan jumlah warga kita juga buaanyaaak..

S : Warga banyak, tapi warga yang peduli?

A : Sebenarnya ada banyak pihak yang peduli, namun sayangnya mereka memang gak dikasih kesempatan untuk terlibat.  aku yakin seperti traveler, blogger, aku yakin mereka ingin berperan tapi gak ada wadah. Jadi mereka cuma bersuara di dunia online. Nah masalahnya dunia online itu dunia yang gak dijamah 80% penduduk kita.

Jadi begini solusinya, contohnya pemerintah bisa agendakan kegiatan-kegiatan seperti pelatihan terkait pengenalan heritage. Nanti orang-orang yang ikut pelatihan harus menduplikasi ilmu yang diperolehnya kepada masyarakat yang ditemuinya. Ini misalnya lho.

S : Kontribusi warga kan banyak bentuknya, seperti Kota Toea Magelang, Lasem Heritage dan sebagainya. Aktif di dunia maya dan ada aksi nyata, pendapatku sih kalo cuma aktif di dunia maya tanpa aksi nyata itu juga akan nonsense.

A : Betul! iniloh maksudku, inisiatif lokal seperti ini malah tidak didukung pemerintah. Gampangnya Kota Toea Magelang pernah dapat apa dari pemerintah? yang ada berantem mulu sama Pemerintah Kota Magelang. Padahal mestinya pemerintah ini bangga dan bersyukur, karena ada warga yang justru bantu kerja mereka.

Pemerintah kita persepsinya lebih ke MEMBANGUN, bukan MENJAGA yang sudah ada. Sibuk bikin hotel di prambanan, bukannya ngurusin Candi Muarojambi yg diancam stockpile industri, itu contohnya. Terlepas dari latar belakang kongkalikong proyek yg menguntungkan sebagian pihak, memang gak ada effort untuk MENJAGA itu tadi.

S : Soal traveler mbakyu, seharusnya apa sih yang seharusnya dilakukan traveler untuk heritage kita? Biar ga cuma berkunjung, foto-foto dan pulang..

A : Menjaga, selain me-reserved, juga menumbuhkan hal-hal baru yang dapat meningkatkan perekonomian warga. Apalagi warga di sekitar kawasan heritage.

S : Nah, kesadaran menjaga itu kan kurang.. Kemudian setelah banyak pengunjung biasanya yang ada objek-objek wisata itu malah rusak, tidak terjaga..banyak contoh kasusnya.. Gimana menurutmu tentang fenomena ini dri?

A : Iya. Makanya kita perlu hati2 menggunakan kata WISATA dan PARIWISATA. Karena biasanya, ketika sudah kenal “uang”, lalu justru merusak . Seperti misalnya, aku lebih setuju konsep “wisata desa“, daripada “desa wisata”.

Kita telaah ya bedanya :

Konsep 1 “Wisata Desa” : orang datang untuk melihat apa yang ada di desa. Maka desa akan menjadi apa adanya, tanpa menambah-nambahkan demi urusan wisata. Dengan wisata desa, maka kita menjual desa apa adanya tadi. Jadi apapunyg di desa kita anggap menarik. Contohnya bisa dilihat di Penang, Pemerintahnya bias menjual adegan menambal panci bocor. Ini di indonesia ada, namanya tukang patri, tapi dianggap kuno, gak modern dan gak penting. Padahal tukang patri ini di Malaysia bisa menjadi atraksi menarik, menarik turis dan mendatangkan uang. See?

Konsep 2 “Desa Wisata” : Konsepnya kira-kira seperti ini : orang datang untuk melihat sesuatu yang mereka anggap sebagai atraksi wisata. Maka warga akan sibuk mengada-adakan sesuatu yang bukan budayanya. Dampaknya akan ada warung makan, hotel, parkiran, dan seterusnya. Dampak buruknya selain mengubah lanscape desa, mengubah tatanan budaya desa, eksploitasi karena orang datang untuk melihat penduduk desa lalu bayar dan dampak lingkungan buruk, seperti sampah, polusi dan lain-lain. Kondisi ini terjadi di sekitar Borobudur.

S : Konsep pertama itu sungguh menarik, jadi itu bisa jadi simbiosis mutualisme? heritage dijual sekaligus dijaga.

A : Iya, tapi sebentar yang dimaksud dijual bukan “dijual” untuk tujuan materi semata. Tapi dijual lebih kepada diperkenalkan, memperkenalkan. Kira-kira begitu.

S : Menurut mbakyu Adri, selain menjaga dan memperkenalkan traveler harus ngapain?

A : Mendidik! Harus mendidik publik yang ada di luar area situs heritage misalnya dengan tulisan di dunia maya, seminar, ngobrol-ngobrol dan seterusnya.

Dan ke penduduk lokal, langsung mendidik on the spot. Agar penduduk lokal bangga denga yang mereka punya, lalu menjaga asetnya. Namun juga harus hati-hati agar gak menjadi komersil. Nanti setelah sadar bahwa dia memiliki ‘sesuatu’, eh malah dijadikan industri wisata, hahaha.

S : Betul! Jangan sampai jadi buah simalakama. By the way, apa sih yang sudah didapatkan dari mengurusi heritage ini Dri?

A : Apa ya,

1. Jaringan. Untuk perkerjaan atau proyek dan pengembangan diri karena bisa ikut konfrensi skala lokal sampai internasional.

2. Kesenangan diri. Puas bisa melakukan yang aku suka dan dibayar pula. :)

2 hal tadi bisa jadi nutrisi otak buatku dengan pengetahuan ketika kenal orang-orang hebat di dunia heritage dan nutrisi dompet. Maksudnya duitnya selain buat makan, juga buat ngembangin Indonesia Heritage Inventory yang aku bangun sendiri tanpa dukungan funding dari luar.

S : Bisa diceritakan proyek Indonesia Heritage Inventory itu Dri?

A : Indonesia Heritage Inventory itu buatku sebenarnya bukan proyek, tapi cita-cita dan ideologi.

Awalnya, karena aku suka candi lalu makanan tradisional, pertunjukan seni lokal, ketertarikan itu lalu berkembang pada kajian pelestarian. Lantas aku berpikir : gimana caranya melakukan sesuatu untuk heritage kita. Kalo orang yang suka heritage, datang, mendokumentasikan, mengabarkan ke orang banyak, itu udah banyak yang melakukan hal itu.

Tapi kayanya belum ada yang mendokumentasikannya secara struktural dalam sebuah wadah terintegrasi. Yang terstruktur, sebab memiliki kategori rigid sebagaimana pendataan formal yang dilakukan lembaga negara. Terintegasi, sebab dapat diakses dengan beragam media online. 

Karena aku punya penngalaman mengelola konvergensi media di @jalinmerapi, jadi aku pikir, kenapa gak coba gunakan sistem sama untuk heritage. Ini untuk ‘menangkap’ sisi narcistic orang, terutama boom social media di Indonesia. 

Misalnya, jika biasanya orang datang ke Borobudur itu cuma datang, foto narsis, upload di twitter, facebook, instagram, nah lewat Indonesia Heritage Inventory itu kita coba ajak mereka untuk melakukan lebih dari itu, yaitu menerangkan kondisi terkini dari situs yg sedang mereka lihat disana.Jadi Indonesia Heritage Inventory itu semacam situational report : apakah suatu heritage dlm keadaan terancam atau terlindungi  dan bisa dicek kategorinya di web Indonesia Heritage Inventory.

Heritage disini aku artikan dengan “pusaka”. Itu gak cuma situs tangible, juga intangible dan landscape. Jadi kalo lihat makanan tradisional seperti klepon,  Orang bisa twit pake hashtag tertentu dan twit itu akan otomatis masuk di web Indonesia Heritage Inventory. Contohnya “eh, ada klepon di Pasar Kotagede”. Dengan begini publik akan tahu kalo klepon itu masih ada di Pasar Kotagede, itu permisalannya.

S : Wah hebat sekali konsepnya! Lantas siapa yang bisa berkontribusi?

A : Ini terbuka untuk publik, asal mereka punya perangkat. Minimal bisa SMS kalo gak punya smartphone untuk online di social media. Data tadi kemudian dilihat, akan ada aproval dari admin untuk verifikasi data. Darimana tau validitasnya? ada kontributor voluntir di beberapa wilayah di Indonesia. Tentang contoh proses kerja Indonesia Heritage Inventory bisa dibaca disini.

S : Jelasnya Indonesia Heritage Inventory bisa diakses dimana?

A : Webnya sementara dipindah kesini http://indonesianheritage.tk/ karena mau ganti domain.

S : Jadi yang ngurusin Indonesia Heritage Inventory ini kamu sendirian aja Dri?

A : Formally dua, sama @joeyakarta dan ada teman-teman yang bersedia jadi volunteer.

S : Ooo..yayaya, jadi ini sebenarnya proyek masa depan berdua sama masnya? *uhuk*

A : Masa sekarang! Masa depan sesuatu di Magelang. Masih *ohok* :) )

Kami berencana pensiuun dari profesi masing-masing lalu menjalankan bisnis yang menghasilkan secara materi, lalu ngurus Indonesia Heritage Inventory, hahahaha. Jadi warga Magelang kayanya, karena kami cinta Borobudur. Mau jadi warga desa saja.

S : Hahaha..cita-cita yang luhur. Anyway, terus harapanmu ke depan soal heritage ini apa Dri?

A : hahaha, selalu susah njawab pertanyaan ni. Mimpipun gak berani karena sampe aku menutup mata dan gak melek lagi kayanya heritage di negara kita masih didzolimi. Tapi aku punya harapan agar inisiatif-insiatif lokal seperti komunitas yang bergerak untuk pelestarian pusaka ini bisa dapat dukungan dari pemerintah. Jika tak sanggup kasih uang, paling tidak support kerja mereka dengan kebijakan yg memihak.

Dengan Indonesia Heritage Inventory aku punya cita2 ini akan menjadi basis data heritage di Indonesia, meski informal web ini bisa digunakan sebagai rujukan publik. Pemerintah soalnya sampai hari ini belum berhasil bikin database untuk seluruh lembaga negara yang urusin heritage atau pusaka. Soal ini aku pernah teliti dan ada disini hasilnya. Jadi daripada nunggu pemerintah, masing-masing dari kita bergerak aja dengan cara kita. Kita, warga punya kekuatan lebih besar dibanding pemerintah kok.

S : Hahaha..ujung-ujungnya pemerintah…

A : Hahaha.. 

S : Yasudah mbak maturnuwun wawancaranya, menarik sekali soal heritage Indonesia ini ya..

A : Sami-sami.. Aku arep pijetan dulu.

Yak, demikian wawancara dengan Adri. Banyak sekali langkah-langkah tentang konservasi, penyelematan, kepedulian heritage yang Adri bidani. Saya sendiri ikut membantu Adri saat #SavePrambanan beberapa waktu lalu. Memang soal heritage ini, Indonesia masih ketinggalan jauh. Sejarah masih menjadi bagian yang dipinggirkan oleh kebanyakan bangsa sendiri.

Adri, banyak berkeliling di berbagai tempat di Indonesia ataupun negara tetangga untuk mengurusi heritage. Dikenal oleh komunitas-komunitas heritage lokal, boleh dibilang di kalangan penggiat heritage tidak ada yang tidak kenal Adri. Sekarang Adri berdomisili di Jogjakarta, kota dengan banyak warisan heritage cantik nan mempesona. Jika ingin kenal dekat dengan Adri, bisa ikuti ide-idenya di Twitter @adrianizulivan atau ikuti pemikirannya di blognya. 

Berikut ada cuplikan kegiatan Adri di bidang konservasi heritage.

75063_10151329809745982_1449762716_n

Adri di Muaro Jambi

734654_10151329817930982_253080195_n (1)

Adri di situs Candi Liyangan, Ngadirejo, Temanggung


Filed under: tokoh

HEMA, Cita Rasa Belanda Di Jakarta

$
0
0
314308_2158276955415_6202975_n

Steak

Menurut sejarah, Indonesia sudah dijajah Belanda selama hampir 350 tahun, walaupun beberapa pihak mendebat hal ini dan mengatakan bahwa Belanda butuh waktu 350 tahun untuk menjajah Indonesia. Tapi tak usah berpanjang-panjang disini, karena saya tak akan membahas soal penjajahan.

Nah, saya akan membahas tentang apa yang ditinggalkan penjajah Belanda di Indonesia, yaitu citarasa kulinernya. Akhirnya setelah sekian lama, saya bisa mencicipi makanan peninggalan Tuan dan Noni Belanda di Cikini. Kawasan yang selalu saya suka karena banyak kuliner lezat disana.

Resto itu bernama HEMA yang berlokasi di lantai 1 Menteng Huis, Cikini. HEMA sendiri akronim dari Hemat – Enak – - Mutu – Artiostik. Soal artistik bisa dilihat dari dekorasi interiornya yang unik, disesuaikan dengan kondisi rumah-rumah di Belanda. Para pegawainya pun menyesuaikan dengan berpakaian khas Belanda

Saya bersama pacar memilih kursi nomor 1, di bagian depan. Di bagian belakang kursi kami ada rak tinggi yang isinya barang pecah-belah khas Belanda. Di atap resto digantungkan balonj pesawat KLM, maskapai penerbangan khas Belanda. di seberang saya ada sofa dan meja untuk tamu, biasanya digunakan tamu untuk menunggu mendapatkan meja. Suasana Belanda memang kental disini.

Kami pun memesan makanan, setelah membolak – balik buku menu akhirnya inilah pilihan menu kami :

1. Appetizer : Huzaren Sla

2. Main Course :

Pacar : Tenderloin Steak. Sebenarnya menu khas HEMA adalah Sirloin Steak, namun pacar tidak suka karena terlalu berlemak.

Saya : Ribs Steak. Konon kata pegawainya ini Steak yang sering dicari pengunjung, akhirnya saya tergoda buaiannya dan memilih Ribs Steak.

3. Minum :

Pacar : Dutch Cappucino.

Saya : Hollandia Juice (Jus Apel + jambu)

4. Snack : Kroket met mayo

5. Desert : Poffertjes met Vanilla Ice Cream.

Yumm, saya sedikit kesusahan untuk mendiskripsikan makanannya. Secara umum semuanya enak dan membuat lidah bergoyang girang. Kami pun sampai menambah porsi poffertjes, karena rasa pofferjest di HEMA benar benar membuat kami berdua ketagihan. Nah, jika ingin mencoba tidak ada salahnya.

Tabik.

Maaf kualitas gambar seadanya. Lupa membawa kamera.

313892_2158278755460_7889513_n

Interior

 


Filed under: makanan

Wawancara : Arman Dhani (Parental Advisory, Explicit Content)

$
0
0

316128_2513660251855_747706822_n

Tidak usah berpanjang kata soal sosok ini, twitnya adalah halilintar dan tulisan-tulisannya adalah rentetan mesiu dari senapan mesin. Arman Dhani namanya, sosok yang jika sepintas terlewat mungkin akan mirip dengan Sai Baba ini adalah seorang fenomena baru di dunia literasi. Buku baginya adalah seperti pemuas syahwat lelaki, jika mungkin banyak lelaki akan melampiaskan syahwatnya dengan menonton film biru misalnya, Dhani memuaskan syahwatnya dengan membaca buku.

Siapa tak kenal Dhani? Apalagi bagi para traveler yang panas telinga, panas hati karena mungkin selama ini terkena sasaran tembaknya. Jika selama ini mungkin hanya membaca tulisan Dhani dan penasaran dengan tokohnya, maka ini saya bawakan Dhani dari dekat sekali. Saya peringatkan, berpikirlah dua kali sebelum membaca postingan ini. Selamat menikmati!

Saya / S : Dhan ki tak wawancara gelem ra kowe?

Dhani / D : Ayo sudah!

S : Dhani kan seorang pecinta buku, apa sih yang membuat Dhani suka buku?

D : Aslinya suka membaca. Ndak cuma buku, karena buku medium paling enak. Dipegang bikin tegang, dilihat bikin senang jadi ya gandrung buku. Sebenarnya juga baca majalah, artikel koran dan jua tulisan internet.

S : Kriteria buku seperti apa yang dibaca seorang Arman Dhani?

D : Buku yang kalau dibaca sejak kalimat pertama sudah bikin nagih.

S : Contohnya dong?

D : Tergantung jenisnya. Apakah novel, cerpen, puisi. Esai ataukah tulisan ilmiah. Kalau puisi buku2 Subagio Sastrowardoyo dan Abdul Hadi WM itu magis sekali. Kalau Novel malah suka sekali dengan Umar Khayam dan Kuntowijoyo. Cerpen gak ada yang bisa ngalahin kemampuan diksi Seno Gumira, Eka Kurniawan dan Puthut EA. Esai tentu saja Mahbub Djunaedi, MAW Borouwer, GM dan Alberto Manguel.  Tulisan ilmiah Dhaniel Dakidhae, Ignas Kleden dan George Junus Adi Condro itu enak sekali dibaca. Terakhir baca yang bikin ketagihan itu Nukila Amal – Cala Ibi. Itu lebih bangsat daripada novel Sitok yang overrated itu.

S : Okay dhan..kiranya bacaanmu itu multi genre.. menarik sekali.. nah, kiranya apakah yang kamu dapatkan dari bacaan-bacaanmu itu?

D : Gak ada, tenan. Pacar ya dapet dari belas kasih, kuliah ya telat. Purely baca buku gak dapet apa2 kecuali buang duit dan waktu.

S : Lha terus kenapa masih baca buku kalo itu semua hal yang sia-sia?

D : Justru karena sia-sia itu perlu dilakukan. Kalau punya arti malah seharusnya tidak dilakukan. Misal nih, kita tahu pada tataran paling kecil. Menolak suap tilang itu harus dilakukan. Karena itu salah.

Tapi toh kebanyakan dari kita menganggap ah udahlah buat apa juga dilawan.Itu sia-sia. Besok juga bakal ditilang lagi. Atau ah kenapa sih harus sekolah ntar juga ijasah gak dipake, tapi karena dianggap sia-sia itu menjadi penting.

S : Jadi sebenarnya yang sia-sia itu justru harus dilakukan ya?

D :  Loh bagiku iya, kuliah buat dapat IP tinggi tapi saat kerja hampir cuma 10 persen yang dipake. Sisanya malah nguap. Apa yang diterima di bangku kuliah adalah versi ideal dari apa yang sebenarnya terjadi di masyarakat. Aku gak tau kalau di STAN bagaimana, tapi di universitas-universitas kesia-siaan itu yang dicari dan dirayakan. Berapa sarjana teknik yang kerja di bank? Berapa sarjana sastra yang akhirnya jadi sekretaris? Mereka melakukan hal sia-sia selama kuliah buat mendapatkan yang sebenarnya apa yang dicari. 

Sama aja, aku sadar baca buku itu buang waktu. Tahu banyak soal eksistensialisme, roh waktu atau teori ledakan besar tidak akan membuat aku diterima sebagai CEO Bank Mandiri. Tapi itu menyenangkan.

S : Beralih dari soal buku, Dhani kan sekarang dikenal sebagai kritikus..kritikus apa saja.. sebenarnya apa sih yang membuat seorang Dhani memilih untuk menjadi kritikus?

D : Itu label bukan aku yang bikin.. hahahahaha .. pler kui garapane Simbah. (Simbah = @LukmanSimbah)

S : Lho..walaupun begitu tapi benar.. apakah kritis itu sudah ada dalam darah seorang Dhani?

D : Oh ndak.

S : Terus?

D : Asline seneng ikut campur ursan orang saja. terutama orang yang sok tau dan keras kepala. Menyenangkan sekali menjadi orang dominan dan tau. Toh kalau aku ngarang-ngarang hanya sedikit yang mencoba mencari tahu.

Misal tentang traveling. Kelemahan orang Indonesia mereka hanya melihat apa yang ada dimuka. Ketika kubilang traveling itu merusak, jawaban yang ada malah cuma “iri, sok tau dan sebagainya”. Tapi gak ada yang modal dikit ketik ke google manfaat besar pariwisata. Dari data tersebut tesis traveling merusak bisa patah, tapi ya itu orang kan cuma bisa ngejek dan marah tanpa bisa dengan tenang menangkis jawaban.

Aku menikmati menindas orang sok tau dan pemalas macam ini. hahahahaha.

Sama dengan kritik sastra, kritik sastra yang serius itu melibatkan banyak hal. Harold Bloom misalnya ia menjelaskan soal karakteristik karya, diksi puisi dan konteks penciptaan karya. Kemarin pas nulis kritik buat 5 buku kan emang niat nge-bomb. Dangkal sekali analisanya dan yang benar-benar merespon dengan kepala dingin hanya 2-3 orang. Sisanya udah kemakan marah dan makian.

Gini ini yang bikin nagih, ngetawain orang bodoh dan marah-marah.

S : Secara ga langsung tulisanmau itu bisa untuk membaca pola pikir seseorang. Omong-omong Dhan, kenapa sering sekali mengkritik traveler? apa sih salah mereka?

D : Banyak! Secara serius demam traveler itu repetisi dari obsesi penindasan masa kolonial. Jka dulu kredonya Gold, Gospel And Glory. Maka sekarang Instagram, Buku dan Folowwer. Nah, traveler hari ini melihat destinasi hanya sebagai sebuah daerah taklukan. I came, i photo, i tell it for my follower and get money from it. Itu relasi penaklukan total. Bedanya kalau dulu JP Coen pas datang ke Jawa gak bawa I-phone buat posting di Instagram. Sekarang kebanyakan, 99 % dari traveler hanya memuaskan ego untuk penaklukan destinasi. 

Belum soal bicara taik kucing soal makanan, budaya dan omong kosong lainnya. Belanda datang karena rempah, dia bilang “Wow makanan inlader keren dan unik” apa bedanya dengan “Cita rasa makanan lokal begitu eksotis” ? 

Atau “Wow pemandangan nya sangat indah lo semua harus datang ke mari” ?apa bedanya dengan kabar ketika Marcopolo balik ke Spanyol terus bilang “Kami menemukan dunia baru yang barbar penuh dengan keindahan dan emas” sampai melahirkan tragedi pembantaian di Amerika Latin oleh bala tentara Cortes. (Cortes yang dimaksud adalah Hernan Cortez, yang menaklukkan Tenochtitlan)

Jika dahulu yang direbut adalah emas dan rempah. Maka sekarang identitas sosial dan lokasi hidup. Be good traveler, datang gak usah pake pamer dan cerita-cerita itu simpen buat diri sendiri. Karena gak semua orang bisa sebijak kalian yang datang cuma buat diving, buat menikmati bercengkrama dan menikmati waktu secara wajar. 

Gak semua orang punya otak buat memperlakukan masyarakat lokal dengan setara. Miskin dan bodoh bukan berarti tidak bahagia. Berapa ribu orang Papua yang mati dulu gara-gara Pak Harto mewajibkan mereka pake sabun dan pake baju? Ternyata tubuh resisten orang papua terbangun dari daki dan lumpur yang mereka pakai.

Kita gak tau apa masalah lokal dan jangan sok tau bilang dengan pariwisata orang bisa makmur. Penyakit dari traveler yang melihat lokasi eksotis dan kemiskinan hari ini menggeneralisasikan penilaian atau melakukan justifikasi terhadap sesuatu atau fenomena yang kenyataannya sangat kompleks dan tak bisa dibicarakan secara simplifikatif.

Itulah, tapi asline yo iri mergo ra iso mlaku2 sisan.

S : Lho Dhan.. tapi kan kalau digunakan dengan benar, pariwisata bisa untuk menopang kemakmuran masyarakat itu sendiri dan kan banyak contoh traveler yang arif, malah ada yang kamu review bukunya. Nah, menurut Dhani gimana sih traveler yang ideal? yang bijak.

D : Iya. Itu satu sisi, banyak kok yang kemudian menjadi sangat terbantu.

Makanya aku bilang gak semua traveler punya otak. Sebagian cuma ingin sensasi bukan isi. Traveler yang bijak traveler yang kalo jalan gak usah cerita dan pamer foto. Simpen buat dirinya sendiri atau hanya ceritakan kepada mereka yang dinilai bijak. Soal standar bijak? masin-masing orang tentu punya standarnya sendiri-sendiri.

S : Misalnya untuk Dhani, seperti apa standarnya?

D : Supir truk dan supir bus. Melakoni perjalanan sebagai hidup tanpa perlu pamer dan membincangkan hal itu berlebihan. 

S : Jadi intinya tanpa dipamerkan?

D : Gak juga. Itu loh seperti pepatah jawa. Pamer tapi tanpa mameri. Orang sudah tau reputasi dan ceritamu tanpa kamu cerita, pamer-pamer. 

Ah, aku lali opo jenenge. Menang tanpo ngarosake opo ya?

S : Contohnya siapa Dhan traveler seperti yang kamu maksud itu?

D : Don Hasman mungkin atau yang baru-baru ini Coki Nasution alias si Rahung

S : Apa yang membuat mereka ideal? konsep travelingnya?

D : Gak. Konsep traveling itu personal. <au jadi turis, backpaker atau pelancong terserah. Tapi seberapa besar seorang bisa menyerap pengalaman dari destinasi yang ia terima. Mark Twain pernah traveling pake koper sebagai turis. Toh dia bisa dengan lugas menyerap apa yang ada disekitarnya.

Don Hasman dan Rahung punya kesamaan. Yaitu fokus tentang apa yang mereka cari. Rahung mencari rempah dan bicara soal realitas sosial masyarakat yang direpresi. Mau disebut idealis atau gak itu peduli setan. Sedangkan Don Hasman dia bicara soal etnografi dan bagaimana menjelaskan peristiwa antropologis melalui foto. Mungkin yg menarik hari ini si Agustinus Wibowo, dia bicara dari kacamata jurnalistik gonzo. (Tentang apa itu Jurnalisme Gonzo, bisa dibaca disini)

S : Dan dari situlah mereka menjadi legenda?

D : Lho bukan perkara legenda Chan, perkara tujuan. Kamu jadi traveler karena ingin jadi legenda? Wah mending kalau gitu ke Tanah Lot terus kencingin aja puranya pasti jadi legenda instan. Tapi buat apa?

S : Terus?

D : Status itu gak penting. Serius. Mau backpacker, turis, pelancong, tukang jalan. Yang penting kamu dapet apa dari perjalanan itu? pengalaman? folower? kontrak buku? atau yang klise kedewasaan?

Itu yang bikin kalian para pejalan jadi beda.

S : Bagi Dhani sendiri yang cukup lumayan jalan-jalan, apa yang dhani dapat dari traveling?

D : Capek.. Hahahahaha

S : Capek thok? Nir Makna?

D : Nir makna, capek aja.

S : Tentang traveler seleb, pendapatmu gimana?

D : Suruh pulang….

S : Hahaha…

D : Tahu banyak di negara orang, tapi aku ragu mereka kenal 5 tetangga kanan kiri depan belakang mereka.

S : Hahaha…..

D : Lho bener, Koh Agustinus Wibowo itu kemarin ngobrol gitu. Dia gak kenal siapapun di kampungnya, jadi asing. Meski ya ada kompensasi bahwa perjalanannya menahun di negara orang memberi banyak pelajaran. Tapi itu ada akibat fatal. Kalau nanti sudah selesai jalan dan gak kenal siapapun di rumah terus mati, njuk sopo sing arep yasinan karo ngubur?

S : Atau dalam lingkup luas, kenal negeri orang, tapi ga kenal negeri sendiri? begitu? ironi?

D : Iya, bisa jadi.

Satu lagi yang sangat fatal adalah buzzer yang asal mengendorse destinasi karena merasa dibayar merasa harus promo. Apakah karena dibayar mereka tidak melakukan AMDAL? Analisis Mengenai Dampak Lingkungan? Kalau Jailolo diendorse gila-gilaan lalu ribuan orang datang. Tanah mahal dibikin resort. Lantas apa mau jadi Bali ke 2? Kaya mendadak, foya-foya duit abis miskin jadi gelandangan? Lalu degradasi kebudayaan, contoh tari-tarianan yang sebenarnya adi luhung karena ada bayaran turis dimainkan seenaknya, sebisanya dan seadanya. Mau seperti itu?

Seleb travel mbok makek pake otaknya yang kecil itu, mengendorse destinasi sembarangan hanya karena dibayar itu gak jauh beda sama intelektual yang dibayar Bakrie buat bilang bahwa Lapindo itu bencana alam. Nalar sama nuraninya udah jadi keset.

S : Dan travel agent?

D : Tentu, semua lini. Pemerintah dalam hal ini Kemenparekraf dan travel agent.

Dalam tataran bahasa paling kasar. Satu destinasi itu pekerja seks komersial yang aduhai dieksploitasi secara berlebih gak peduli mereka itu hamil atau datang bulan atau sakit. Yang penting turis datang dan bawa duit. 

S : Okay Dhan.. Eksploitasi berlebih memang justru bisa menjadi buah simalakama. By the way kamu dapat salam dari Sastri.

D : Ah salam doang. Kapan cintanya?

S : Lho memangnya apa sih yang membuatmu tertarik pada Sastri? Sastri sebagai traveler tentunya.

D : Sastri sebagai traveler? aku malah gak suka. hahahahaha.

Detik travel, Wego dan sejenisnya itu malah melanggengkan apa yang aku khawatirkan tadi. tapi itu kan pilihan, kita gak bisa gigit tangan yang ngasih makan kita. Kebijakan perusahaan.

Lagipula label itu menyesatkan, Sastri ya Sastri aja. Kenapa sebagai traveler? Kowe yo Farchan, Farchan wae. Kalau sebagai traveler mau ku maki soal Newmont kemarin.

S : Hahaha..aku wes nebak, kamu pasti marah sama aku soal Newmont..hahaha. Kalo gitu kamu harus ikut ke newmont November nanti..

D : Gak mau, buat apa? Aku ada rumah di sana. Kalau sekedar CSR yo bakal ditunjukin yang bagus-bagus. Aku ada 14 sanak keluarga yg tinggal di area Newmont dan apa yang ga keliatan pas CSR ya aku tau lah.

S : Balik soal Sastri, jadi apa yang kamu suka dari Sastri?

D : Nah itu dia, repot. Kenapa ya suka Sastri?

S : Tuh kan repot sendiri soal Sastri?

D : Tapi Sastri.. Duh..Kalau itu produk Freeport wis aku meneng..

S : Kog jadi gabisa berkata-kata soal Sastri?

D : Wah..Repot.. Beberapa hal itu gak bisa dijelaskan keindahannya dan gak butuh alasan juga.

S : Hahaha…Okay Dhan, terakhir nih. Bagaimana sih kamu memandang dunia traveling Indonesia sekarang ini yang menurutku sendiri sudah ramai sekali dan apa harapanmu soal traveling / traveler ke depannya?

D : Mereka gede karena ada social media, internet. Taik kucing kalau gak ada twitter dan sejenisnya. Subkultur pejalan ini gak bakal segede sekarang.

Kedepan? kita akan lihat Bali-Bali baru. Lokasi yang diperkosa kapital, budaya yang hilang dan matrealisme masyarakat. Dan aku gak punya harapan, semoga cepat hancur aja. Jadi biar gampang nunjuk muka orang-orang yang sok bilang pariwisata itu baik.

S : Soal beberapa orang yang menurutmu traveler yang baik gimana? Ada pesan untuk mereka?

D : Buat Rahung, udah tutup akun twitter. berisik! hahaha. Kalo Don Hasman. Pulang aja maen ama cucu. Udah cukup banyak ngasih ilmu. Giliran nikmati idup.

S : Okay Dhan, semoga setelah membaca wawancara ini lalu banyak yang akan tersadarkan dan melahirkan Rahung atau Don Hasman baru..begitu?

D : Gak, moga makin banyak yang follow aku dan mensyen ngejek atau bahkan ngajak twitwar.

S : Hahahaha..

Demikian wawancara singkat dengan Arman Dhani, semoga bisa memberi pencerahan. Jika ingin kenal lebih dekat dengan Arman Dhani, bisa langsung mention di twitternya @arman_dhani atau baca-baca blognya disini.  Karena sesungguhnya jika kenal dekat lagi, dia adalah sosok yang menyenangkan dan penuh cinta.


Filed under: tokoh
Viewing all 64 articles
Browse latest View live